Rabu, Juli 29, 2009

Kunjungi Melebung


Inilah kondisi rumah di desa Melebung yang sudah terancam abrasi. Penghuninya terpaksa pindah agak ke darat dengan membuat rumah seadanya. Yang penting bisa untuk berteduh dari hujan dan panas.

Bersama Aya, anaknya Evi yang sudah biasa ikut orangtuanya berpetualang.


Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.

Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.

Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.

Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.

Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.

Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.




Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.

Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.

Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.

Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.

Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.

Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.

Sekitar satu jam perjalanan barulah kami sampai ke desa Melebung. Penduduknya masih bisa dihitung sekitar 30 KK. Desa ini baru sebulanan menikmati terangnya listrik. Letaknya yang jauh di pinggir kota belum bisa dijangkau PLN. Karenanya, Pemkot Pekanbaru menghibahkan sebuah genset untuk warga Melebung. Dengan genset tersebut, warga sudah bisa menikmati terangnya malam. Selama ini kampung ini gelap gulita. Hanya satu dua buah rumah saja yang terang karena memiliki genset sendiri.

''Ya, syukurlah.Kampung kami sudah tak gulita lagi. Kami pun sudah bisa menonton TV,'' aku seorang warga, bernama Niar.

Hanya saja, kata Niar, listrik hanya bisa mereka nikmati selama enam jam. Yakni, dari jam enam sore sampai jam 12 tengah malam. Begitulah kondisinya. Dengan penerangan beberapa titik dan sebuah TV, Niar harus merogoh uang dari sakunya sekitar Rp60 ribu setiap bulan. Uang itu demi kelancaran operasional genset. Sebab, Pemko hanya menghibahkan mesinnya saja. Soal pengelolaan dan biar terus survive, warga sendirilah yang memenejnya.

Pemandangan yang mengenaskan di desa ini, abrasi yang terus menggerus rumah warga. Entah sudah berapa rumah atau berapa meter daratan desa ini habis. Rumah ambruk atau hanyut dibawa arus. Akibatnya, terpaksa warga pindah agak ke darat. Sebenarnya perpindahan itu pun tinggal menunggu waktu saja. Begitulah dahsyatnya abrasi yang bukan hanya menenggelamkan sebuah perkampungan, bahkan bisa melenyapkan sebuah pulau.


Jumat, Juli 24, 2009

Nu, Kan Udah Besar!


(Mamnoor digendong kakak sepupunya Eza. Eza ini sudah kami rawat sejak kelas tiga SD, setelah beberapa hari ayahnya meninggal. Tahun ini Eza sudah tamat SMKN 3, jurusan tatabusana)

Tumben Mamnoor kemarin nangis sejadi-jadinya ingin ikut mamanya kerja. Biasanya nggak pernah seperti ini. Kalaupun nangis, setelah dibujuk dengan es krim atau jajanan yang disukainya, Mamnoor langsung menerima alias nggak mau maksa untuk ikut. Malah kepergian mamanya ke kantor dijadikannya senjata untuk bisa minta apa saja. Dasar si bungsu! Tahu aja kalau permintaannya itu nggak bisa ditolak. He..he...

Sebelumnya saya dapat telpon dari sekretaris redaksi di kantor, kalau pimred minta rapat seperti biasa jam tiga sore. Dalam pikiran saya, pasti rapatnya penting. Soalnya sehari sebelumnya, manajemen merapatkan kondisi perusahaan. MUngkin hasil rapat itulah yang disampaikan Pimred ke kami dalam rapat tersebut. Setengah tiga sayapun siap-siap. Mamnoor sudah tahu kalau saya siap-siap pasti mau pergi.

Mamnoor: ''Mama mau kemana?''
Mama : ''Mau ke kantor sayang?''
Mamnoor: ''Mama kerja, ya''
Mama : ''Iya''.
Mamnoor: ''Nu, ikut mama kerja, ya''
Mama : ''Nggak bisa sayang. Nu kan tahu, kalau mama kerja nggak boleh ikut?''
Mamnoor: ''E..boleh kok...!''
Mama : ''Nggak boleh lah...''
Mamnoor: ''Boleh kok ma. Nu kan udah besar''

Nah lho! Jawaban Mamnoor membuat saya geli sendiri. Berarti selama ini dia nggak boleh ikut karena dikatakan masih kecil. Padahal rasanya saya nggak pernah mengatakan ketidakbolehan dia ikut itu karena masih kecil. Atau mungkin saja pernah oleh kakak2nya, tapi kasusnya sekali-sekali. So, ketika dia mengatakan dia sudah besar, konsekuensinya dia boleh ikut. Wah..susah juga nih ngasi tahunya. Untuk menenangkannya saya coba bujuk dengan jajan. E..nggak ampuh. ''Nu nggak mau!!'' katanya. Saya bujuk dengan es krim di supermarket, dia juga ngotot nggak mau. ''Nu ikut mama!!!'' keukeuhnya.
Waduh, gimana ini. Mau nggak mau saya harus pergi. Ada rapat penting lagi. Terpaksa saya harus meninggalkan Mamnoor yang nangis sejadi-jadinya, sampai-sampai tangisnya mau ikut masih terdengar dalam jarak puluhan meter.
Saya berpikir kenapa Mamnoor seperti itu. Saya nggak percaya kalau hanya gara-gara dia merasa sudah besar, lalu dia maksa harus ikut sampai nangisnya kencang banget. Saya ingat2 lagi. O...mungkin dia ingat curhat saya ke dia. Saya iseng saja bawa dia bicara seolah2 dia sudah besar di kamar berdua sambil tiduran. Ya..sambil ingin menidurkan dia, saya bertanya ke Mamnoor.
''Nu...mama mau ambil cuti nih, kemana ya kita. Kakak dan abang sekolah. Kita jalan-jalan ya berdua. Mama dan Nu akan lebih sering bersama.'' (Mamnoornya sambil ngedot jempol sok dewasa menyimak kata-kata saya sambil menyahuti sepatah dua kata. ''Ya ata Oo..'') Nah..mungkin ini nih yang membuat dia mo ikut kemana saya pergi. Tapi malamnya setelah saya pulang kerja, saya tanyakan kepada kakak sepupu yang menjaganya bagaimana sikap Mamnoor setelah saya pergi. Katanya sih cuma sebentar. Setelah saya menghilang dari pandangannya, Mamnoor malah minta bobo. Tapi sebelumnya es krim dulu, dong....



Minggu, Juli 05, 2009

Qilla Lulus

Masa PSB (pendaftara siswa baru) udah kelar. Rasanya waktu itu hari yang tersibuk. Hampir setiap hari keluar mengunjungi sekolah-sekolah. Dari yang favorit, MTs, SMP biasa sampai yang sekolah binaan. Semuanya dicek. Sekedar ingin tahu berapa nilai tetinggi dan terendah di sebuah sekolah. Asyik juga. Karena dengan begitu jadi tahu beberapa sekolah yang dikunjungi. Kalau bukan karena PSB, bisa dipastikan nggak pernah tahu sekolah-sekolah tersebut.
Apalagi melihat ekspresi orangtua, yang anaknya diterima dan yang nggak terima. Semuanya rata-rata memberi nasehat kepada anaknya, agar PSB dijadikan pelajaran untukbelajar lebih giat lagi. Semua orangtua cemas, apalagi yang memiliki nilai pas-pasan. Setiap hari harus memantau pengumuman. Jika nilai anak berada diurutan akhir atau 20 besar ke bawah, hampir semua orangtua mencabut pendaftaran dan mencari sekolah lainnya. Bahkan ada orangtua yang dua atau tiga kali mencabut formulir karena berada di urutan tidak diterima.
Alhamdulillah, Aqilla langsung diterima di satu sekolah. Itu pun bukan sekolah tujuan awal. Sebelumnya sudah masukkan formulir di MTsN.Tapi, karena syarat belum lengkap, formulir ditarik kembali dan keesokan harinya baru dimasukkan. Perjalana pulang, tiba-tiba ingin singgah di SMP 32 yang katanya sekolah binaan. Niatnya ingin meninjau saja. Entah kenapa, pas mau pulang, tiba-tiba saja nekad masukkan formulir walau sudah tutup. Biar bisa langsung diakses paginya, formulir Aqilla dititip di sekolah SMP32 Binaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Ya, tanpa direncanakan, Qilla jadi positif di SMP 32.
Setiap hari Aqilla tetap di posisi aman, 50 besar. Daya tampung sekolah binaan tersebut hanya empat lokal, sekitar 125 orang dari umum. Posisi pertama 27, kedua, 45 dan ketiga tergeser di urutan 50. Karena banyak yang tak diterima di sekolah pavorit pada mendaftarkan diri di SMP 32.
Sekarang, kekhawatiran itu selesai. Hari Senin pengumuman PSB, dilanjutkan daftar ulang. Tapi saya tetap merasa kasihan dengan merekamereka yang tak lulus di sekolah negeri, yang rata-rata nilai mereka di bawah 7,5 atau 7 ke bawah. Artinya mereka harus rela sekolah di swasta, yang notabenenya harus banyak mengeluarkan uang. Sementara sekolah swasta yang bonafit sudah lebih dulu menerima murid dengan jumlah uang belasan juta.
Sekarang, pemerintah sudah memperhatikan pendidikan dengan mengalokasikan dana APBN dan APBD yang cukup besar. Makanya, Pemerintah Kota Pekanbaru khususnya bertekad menciptakan sekolah murah berkualitas. Siapa orang tua yang tak ingin memasukkan anak-anaknya di negeri saat ini. Saya sendiri melihat itu. Sewaktu saya meninjau sekolah pavorit. Saya melihat banyak orangtua yang ''kaya'' (setahu saya) yang mendaftarkaan sekolah anaknya di sana. Para pengusaha cina, anak pejabat dan orang berduit lainnya. Sementara yang namanya negeri, baik itu pavorit ataupun nggak, tetap saja gratis.***

Rabu, Juli 01, 2009

Sorry, Ma....


Lagi sibuk-sibuknya di dapur mempersiapkan sarapan, nggak tahunya Mamnoor udah berada di dekat saya, tanpa saya ketahui. Pas mau berbalik, Mamnoor yang berada di belakang tertabrak dan nyaris jatuh. Mamnoor kaget. Saya langsung bilang, ''maaf ya Nu, mama nggak tahu Nu ada di belakang mama'', tak lupa sambil mendekapnya biar nggak nangis dan mengerti tabrakan itu bukan disengaja. Mungkin karena nggak sakit, Mamnoor malah senyum. Duh..senengnya.
   Trus, Mamnoor bukannya pergi. Dia juga ikut sibuk di dapur. Hampir saja dia menyentuh piring yang di atas meja dan hampir jatuh. Saya yang melihat itu kontan saja kaget dan sedikit berteriak.
''Nu...awas, piring mau jatuh,'' teriak saya.
''Sorry ma.....'' jawab Mamnoor nyantai.
Jawaban Mamnoor yang lain dari biasanya ini, membuat saya dan kakak sepupunya yang ikut membantu di dapur tertawa menahan geli. Sekaligus kita-kita juga heran, kok bisa Mamnoor jawabnya seperti itu. Kayak orang dewasa aja. Mamnoor ikutan ketawa melihat kami menertawakannya. E..alah Mamnoor Mamnoor! Baru tiga setengah tahun, kok ngemesin banget.

*****

Cerita lain lagi soal kelucuannya Mamnoor. Sore kemarin, Selasa, kami duduk-duduk nyantai di teras rumah. Semilir angin sore membuat suasana santai kami semakin menyenangkan. Tiba-tiba saja Mamnoor minta jajan.
''Mama, beli es krim yuk!'' Mintanya merajuk.
''Sebentar lagi es krim jawa (es krim yang dijual keliling buatan sendiri tanpa merek walls atau campina) datang. Kita tunggu itu, aja ya'' Bujukku.
''Nggak, di maket aja (maksudnya super market. Biasanya Mamnoor suka banget es walls spongebob),'' jawab Mamnoor.
Kakak sepupunya Eza, yang kami pelihara sejak kelas 3 SD sekarang sudah tamat SMK, mencandai Mamnoor.
''Supermarket atau minimarket,'' kata Eza.
''Maket.'' jawab Mamnoor. Mamnoor memang belum fasih ngucapin supermarket.
''Ma....ya..es krim maket,'' rengek Mamnoor pada saya sambil lendotan.
''Supermaket atau mini market???'' ulang Eza.
''terserah kakak ajalah,'' jawab Mamnoor.
Nah, jawaban terserah kakak aja ini yang membuat kami tertawa. Sungguh nggak kami sangka Mamnoor menjawab seperti itu. Bukannya nangis dicandain, malah memberi jawaban diluar dugaan. He..he...lucu abis.