Selasa, April 28, 2009

Kandas di Tengah Laut


(Nasori termenung menunggu air laut pasang. Kapan ya bisa terbebas dari tengah laut ini?)
Jarak Rupat dengan Malaka yang cukup dekat, membuat kondisi sosialnya mempunyai kemiripan. Bahkan di Rupat juga berlaku uang ringgit. Barang-barang yang beredar lebih banyak keluaran Malaysia. Termasuk sepeda motor. Warga Rupat lebih suka membeli dari Malaysia. Harganya sangat murah. Contoh, sepeda motor merek Honda atau Yamaha, yang kalau di Dumai (Indonesia) harganya belasan juta rupiah, di Rupat bisa dibeli dengan harga dua juta sampai empat jutaan. Makanya, kalau ke Rupat jangan heran banyak warga yang memiliki sepedamotor tanpa nomor polisi.
Jalan-jalan yang ada di Rupat juga lebih banyak jalan setapak yang hanya disemenisasi.
Maklumlah, saat aku ke sana belum ada mobil. Katanya cuma ada satu, mobil dinas milik Pak
Camat. Sayangnya, jalan ini cepat rusak oleh rendaman air laut saat sedang pasang. Soalnya
kalau air laut pasang, ada beberapa jalan yang terendam, kadang sampai lutut. Dan inilah
salah satu infrastruktur yang harus digesa pembangunannya oleh pemda setempat, jika Rupat
ingin dikembangkan menjadi tujuan wisata baru di Riau.
Kalau saya mendengar perkembangannya sekarang, kemajuan Rupat sudah lumayan. SUdah
banyak dana APBD yang diprioritaskan untuk pembangunan di Rupat. Mungkin saja motor-motor yang ada di sana sudah ada platnya. Itu artinya masyarakat harus membayar pajak
kendaraannya. Rasanya, ingin sekali aku ke Rupat lagi. Seperti apa ya perkembangannya
sekarang?


(Teman-teman pria mencoba mendorong speedboat yang kandas, tetapi tak berhasil. Kami harus menunggu air laut pasang dulu)

Setelah puas berjalan di Rupat kami pun kembali ke Bengkalis. Tapi kami tak mau langsung
menuju Bengkalis. Kami ingin memutar ke kiri berlawan arah ke Bengkalis yang mengarah ke
kanan. kami ingin melewati selat morong yang membelah dua Pulau Rupat itu. Jarak tempuhnya
memang agak lama. Yang namanya jalan-jalan dan ingin tahu, waktu tidak kami persoalkan.
Pemandangannya cukup asyik. Dari kejauahan tampak sebuah pulau yang timbul tenggelam.

Kalau tak salah itu Pulau Babi. Kadang dia muncul dan kadang dia tenggelam, hanya sedikit
saja yang terlihat. Kami teus melaju. Tapi tiba-tiba speed kami tak bisa melaju dan akhirnya
berhenti di tengah laut. Aku yang tak biasa mengalami seperti itu rada khawatir juga.

Ternyata kami kandas menabrak beting (kawasan laut yang tak dalam. Tanahnya agak tinggi).
Karena tak bisa menggerakkan speed, kami terpaksa berhenti dan menunggu air laut pasang
lagi.Sementara itu temen-temen cowok keluar dari speed sekalian ingin tahu berapa benar
kedalaman air sehingga kami bisa tersangkut. Pantas saja kandas, kedalaman air cuma selutut
orang dewasa. Cukup lama juga kami terdampar di tengah laut tersebut. Lagian siapa yang
menyangka kami terkena beting itu. Sama sekali tak kelihatan, sebab keberadaan kami jauh
dari pantai.
Setelah air laut sudah mulai pasang, temen-temen mencoba mendorong speedboat ke tempat
yang lebih dalam. Setelah berhasil dan mesin bisa dinyalakan, kami pun melanjutkan
perjalanan menuju selat morong. Di selat ini sedang dibangun sebuah jembatan penghubung
(mungkin sekarang sudah selesai dan sudah pula dimanfaatkann warga setempat). Selama ini
masyarakat menyeberang menggunakan rakit besar atau feri.
Keluar dari selat morong barulah ke laut lepas meninggalkan Pulau Rupat menuju
Bengkalis. Kami pun bermalam lagi di Bengkalis. Keesokan harinya, barulah kembali ke
Pekanbaru dengan Alita Ekspres, yang cukup kencang. Sekitar tiga jam, tiba di Pelabuhan
Sungai Duku Pekanbaru.

Sambil menunggu air pasang, beberapa teman bermandi-ria dulu.


Minggu, April 26, 2009

Malam Hari di Pulau Rupat



Malam di Pulau Rupat gelap gulita. PLN memang belum masuk di pulau terluar Indonesia ini. Penerangan hanya dengan petromak dan beberapa lampu colok atau pelita ditambah dengan lilin.Hanya beberapa rumah saja yang terang oleh penerangan genset. Itu pun hanya rumah orang-orang yang berpunya.
Untunglah cuaca cukup cerah walau cahaya rembulan timbul tenggelam. Hanya bintang yang setia menghiasi angkasa. Kami semua duduk di depan penginapan. Kami asyik dengan kesibukan sendiri. Aku dan Evi (sekarang kepala biro ANtara Pekanbaru) duduk agak menjauh dari teman-teman pria yang asyik ngobrol. Kami mengambil posisi di bawah pohon cemara, persis di tepi pantai. Sayangnya, malam itu pantai berpasir putih itu sudah tak terlihat. Ditutupi air laut yang sedang pasang. Namun justru itu aku menemukan sensasi lain, di mana debur ombak yang memecah pantai sangat dekat dan terkadang percikan airnya menyentuh kami. Benar-benar eksotis, sangat menyenangkan dan tentu terasa tenang di hati.
Pikiranku sempat liar ke mana-mana. Teringat masa lalu. Debur ombak yang memecah pantai seakan membawa pikiranku yang menerawang itu. Kadang dibawanya jauh ke tengah laut, lalu kembali dihempaskannya ke pantai.
Yang lebih memikat berada malam hari di Rupat, nun di Selat Malaka (aku tak tahu persis apakah masuk perairan Malaysia atau Indonesia), beberapa kapal pesiar yang terang benderang, di mana setiap ruangnya dipenuhi cahaya lampu berhenti di tengah laut. Entah apa aktivitas mereka di sana. Apakah mereka sedang clubbing? Atau berjudi? Entahlah. Yang pasti keberadaan beberapa kapal pesiar itu sangat kami nikmati.
Selain itu, jauh di sana, tepatnya di langit Malaysia, cahaya lampu (mungkin) bias dari gedung gedung yang menjulang, terimbas di angkasa. Sehingga jelas terlihat dari tempat duduk kami. Ada rasa miris di hati. Betapa berbedanya, antara negeri seberang dengan Pulau Rupat. Usahkan melihat langitnya yang terang, cahaya dari rumah penduduknya entah terlihat entah tidak. AKu bayangkan kalau aku saat itu berada di Malaka atau di kapal pesiar itu, pasti aku hanya melihat kegelapan yang kelam.

Rabu, April 22, 2009

Meninjau Pulau Terluar Rupat Utara


Dari kejauhan nampak pantai pasir putih Rupat Utara. Dari Speedboat kami terpaksa naik perahu untuk mencapai pantai, sebab speedboat tak bisa berlabuh karena tak air laut sedang surut dan pelabuhan tak ada.

Teman-teman rombongan penulis asal Bengkalis-Siak. Oji (Kepala BUMD Pelalawan), Kasdi (Pimpinan Perusahaan Koran Riau), Erianto Hadi (Wapimum Dumai Pos), Edi Yatim (sekarang anggota DPRD Riau dari Demokrat, sebelumnya Pimum Koran Riau). Dua di samping pakai topi wartawan di Bengkalis.

Berpose di bebatuan paling ujung Pulau Rupat berdekatan dengan tower yang memantau aktivitas di Selat Malaka.

Pulau Rupat terbagi dua bagian, Rupat Selatan dan Rupat Utara. Kedua pulau ini dibelah oleh selat morong. Rupat Selatan lebih dekat dengan Dumai, ibukota kecamatannya Batu Panjang. Di Rupat Selatan pantainya berlumpur dan banyak ditumbuhi pohon bakau. Sementara di Rupat Utara bahkan sepanjang pulaunya yang berhadapan langsung dengan selat Malaka berupa pasir putih. Jika air laut surut, pantai putih ini terbentang indah. Karenanya pantai Rupat Utara ini dinilai sangat potensial untuk pengembangan wisata. Dan potensi itu saat ini terus digali dengan mengundang berbagai investor.
Saya bersama kawan-kawan yang mengatasnamakan penulis dari Bengkalis-Siak, suatu waktu tahun 2004 lalu, tertarik mengunjungi pulau terluar Indonesia yang sering menjadi pembicaraan pemerintah setempat ini. Seperti apa betul potensi yang dimiliki Rupat Utara terutama pantainya yang cukup indah itu.
Dari Pekanbaru kami berangkat dulu ke Bengkalis dengan kapal Mulia Kencana. Naik kapal ini jarak tempuh Pekanbaru Bengkalis bisa empat jam lebih. Sementara naik speedboat lebih kurang bisa tiga jam. Itu dikarenakan, kapal ini harus berjalan lambat ketika melewati perkampungan penduduk. Tujuannya agar abrasi tidak semakin parah. Akibat dari abrasi ini sudah puluhan bahkan ratusan rumah penduduk tenggelam. Untuk memperlambat (sebab abrasi tetap saja terjadi selama tidak dibuat turap sebagai penahan) abrasi, setiap kapal berukuran besar dilarang menggunakan kecepatan tinggi.
Pernah sebuah kapal dari luar negeri dikejar warga setempat karena tidak mengindahkan keinginan penduduk. Mereka dihadang dan dilempari warga. Tentunya peristiwa ini tidak mau dialami oleh kapal-kapal lainnya.
Di Bengkalis, sudah menunggu beberapa orang teman jurnalis yang bertugas di sana. Kami pun menginap semalam di Bengkalis.Esok paginya, kami pun siap-siap menuju Pulau Rupat dengan mencatar Speedboat Terubuk Express. Perjalanan menuju Rupat dari Bengkalis ini juga sangat indah. Beberapa pulau kecil di perairan Riau kami lewati satu per satu, kemudian menempuh selat Malaka. Di perjalanan kami juga sempat melihat beberapa ekor ikan yang berlompatan. Kalau saja kami memancing saat itu, pastilah banyak dapat ikan.
Tak lama, dari kejauhan tampaklah Pulau Rupat bagian Utara dengan pantainya yang cukup luas. Rasanya panjang sekali pantai itu dan sepanjang itu pula pantai berpasir putih itu seolah mengikuti kami. Tepat di Desa Teluk Rhu speedboat kami berhenti di tengah laut. Awalnya saya heran, kenapa berhenti di tengah laut tersebut sementara pantai masih jauh. Ternyata speedboat tak bisa berlabuh karena tak ada pelabuhan, dan air laut sedang surut. Sedangkan pelabuhan yang ada di Tanjung Medang, letaknya paling ujung di Pulau Rupat. Jalan satu-satunya menuju pantai, kami dijemput sebuah perahu. Kira-kira air laut selutut, barulah kami turun menuju penginapan yang letaknya di bibir pantai. Pantes saja kami berhenti di tengah laut yang tak jauh dari penginapan.






Minggu, April 19, 2009

Pertemuan di Marcopolo Hotel


Peserta seminar yang dihadiri utusan dari 22 negara di dunia termasuk dari Indonesia yang diwakili Riau, Medan, dan Jakarta.

Rombongan dari Pekanbaru Indra B Syukur mewakili perhotelan dan Riau Torism Board, Syamsul BS Riau Pos, Syamsul patria travel, Ibnu Masud Muhibbah travel, Lucy Diamanda Riau Mandiri, Ikhawan Aurora Travel dan saya sendiri saat itu wakil dari Harian Pekanbaru Pos.

Katanya di komplek inilah artis legendaris Malaysia P Ramlee berdiam dulunya.

Berfoto di komplek Kek Lok Si Temple -klenteng terbesar di Penang-

Pemandangan Kota Penang dilihat dari Kek Lok Si

(Salah satu patung Dewi Quan ini berdiri di puncak bukit.)


Sarapan di Mutiara Hotel diisi beragam makanan. Maklum, menyediakan menu untuk tamu dari seluruh dunia bukannya mudah. Tapi ku lihat semua menikmatinya. Saat itu aku belum tahu siapa saja (negara mana) yang diundang pihak kerajaan. yang ku lihat memang nano-nano, wajah arab, oriental dan barat.
Setelah pertemuan di Marcopolo (usai sarapan) prosesi penyambutan tamu dan perkenalan plus suguhan budaya, barulah aku tahu kalau negara yang diundang sekitar 22 negara di dunia. Soalnya tamu per negara dipanggil. Ketika giliran Indonesia, ternyata ada tiga kelompok yang berdiri di tempat yang terpencar. Pas, istirahat, kami pun sesama utusan Indonesia saling berkenalan. Pantes saka aku lihat wajah nano-nano. Semuanya terdiri dari dua unsur, jurnalis dan travel. Jumlahnya ratusan orang. Kalikan saja kalau setiap negara diundang minimal sepuluh. Indonesia saja 20 orang lebih.
Seminar dan penampilan budaya Malaysia yang beragam etnis itu (malayu, cina, india) cukup memuaskan. Acara pertemuan ini hanya sampai makan siang. Sorenya hingga malam pembukaan Mega Sale Malaysia di Komplek Tun Abdul Razak sebuah pusat perbelanjaan di Penang. Sebelum kembli ke Hotel, kami berjalan-jalan dulu mengitari kota Penang. Antara lain, mengunjungi berbagai macam temple (klenteng) yang banyak tersebar di Kota Penang. Termasuk Kek Lok Si Temple yang letaknya di perbukitan. Di atas bukit juga terdapat patung Dewi Quan in.


Jumat, April 17, 2009

Malaka-Pulau Pinang


(Jembatan Penang yang menghubungkan daratan Malaysia dengan Pulau Pinang)

Acara inti Mega Sale 2004 Malaysia dipusatkan di Pulang Pinang (Penang). Sebuah pulau di Malaysia bagian Utara yang sudah terhubung oleh Jembatan yang cukup panjang. Sayangnya aku lupa berapa panjangnya. Katanya jembatan ini yang terpanjang (di dunia?). Sebanyak 22 negara di dunia yang diundang secara percuma oleh kerajaan, termasuk Indonesia. Perwakilan Indonesia hanya tiga daerah saja. Jakarta, Riau dan Medan. Saya tahunya setelah berada di Malaysia ketika pertemuan di Hotel Marcopolo, Penang. Di sana kami berkenalan sesama utusan Indonesia yang terdiri dari jurnalis dan travel.
Sekitar pukul 11 siang (pukul 12 Malaysia) kami tiba di Malaka. Di bandara rombongan kami sebanyak tujuh orang langsung disambut oleh guide plus sebuah van yang tempat duduknya pas untuk tujuh orang.
Karena jam makan siang, langsung saja kami dibawa guide makan di Rumah Makan Baba dan Nyonya. Selesai itu, kami mutar-mutar kota Malaka dan singgah di beberapa kelenteng bersejarah dan masjid untuk sholat Zuhur. Bagi yang belum sempat menukarkan rupiahnya dengan ringgit, saat itulah waktunya kami tukar satu ringgit senilai Rp2.400.
Kami pun melaju menuju Kota Penang yang jarak tempuhnya memakan waktu delapan jam dari Malaka. Mendengar waktunya segitu, rasanya lama banget. Pasti sangat membosankan di jalan. Ternyata anggapan itu keliru. Di sepanjang jalan menuju Penang, banyak sekali pemandangan yang bisa dinikmati. Ada beberapa daerah bagian yang kami lewati termasuk kawasan perkebunan sawit yang menghampar di daratan Malaysia. Selama perjalanan, kami singgah dua kali di sebuah tempat pemberhentian yang sangat nyaman. Selain sholat Asar, kami menikmati teh tarik, sejenis minuman yang cukup dikenal di Malaysia. Rasanya seperti teh susu. Karena aku baru menginjakkan kaki ke Malaysia, aku ikuti saja apa yang banyak dipesan teman-teman.



(Dari jauh samar-samar Kota Penang terlihat dari Jembatan)


Anehnya, perjalanan selama itu benar-benar tidak terasa lelah. Karena kami tak pernah keluar dari jalan tol. Sudahlah jalannya luas, lurus, dua jalur lagi. Bedanya dengan Indonesia, jalan tol di Malaysia tidak dibatasi oleh gerbang tol, yang artinya kita harus bayar untuk menikmati fasilitas tol tersebut. Jalanan gratis, lancar dan nyaman. Rasanya di sepanjang jalan itu hanya sebentar aku tertidur. Setelah itu aku merasa rugi melewati pemandangan di kanan kiri jalan. Apalagi saat memasuki Penang dengan jembatan panjang yang menghubungi daratan Malaysia dan Pulau Pinang. Kiri kanannya laut. Tak lama dari kejauhan, barulah nampak gemerlapnya Kota Penang.
    Melihat jembatan ini aku berfikir, coba ya dari Bakauhuni ke Merak dihubungkan oleh jembatan, tentunya antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera jaraknya semakin dekat. Teringat pula olehku rencana Riau akan membangun jembatan Ro-Ro dari Dumai ke Pulau Rupat dan Pulau Rupat ke Malaka. Tentunya jarak Riau dengan Malaka juga semakin dekat. Naik speedboat saja cuma beberapa menit dari Rupat ke Malaka, apalagi kalau lewat jalat darat...(soal Pulau Rupat akan dibahas tersendiri, saat aku berkunjung ke sana setelah beberapa hari dari Malaysia)

Sebelum ke Hotel Mutiara Beach Resort, tentunya kami mencari makan malam dulu di tengah kota. Menu yang kami pilih adalah seafood. Antara lain Tom yam, ikan, cumi dan makanan laut lainnya. Tapi yang paling berkesan adalah tom yamnya. Kami berebutan. Semangkuk besar langsung habis karena kami berebutan. Ternyata kurang, kami pesan lagi. Rasanya sangat enak di lidah kami, terutama aku orang Melayu. Kalau aku nilai tak beda dengan rasa pindang atau sempedas. Bedanya terletak di asamnya saja. Kalau kami biasa menggunakan asam kandis atau belimbing wuluh atau terong asam. Kalau di Penang, lebih mengarah ke asam jeruk. Lagi pula, pedasnya yang membuat kami mau nambah lagi. Hmm...yummi..
Perut kenyang kami pun ke hotel. Jalan menuju hotel juga sangat menarik yang lebih banyak nelalui jalan pinggir laut. Sekitar tengah malam kami sampai di hotel dan oleh resepsionis hotel kami langsung diberikan kunci kamar untuk masing-masingnya. Masuk kamar, aku kaget sendiri. Besar banget. Ranjang ada dua. satu set kursi, meja rias plus lemari yang cukup besar, segala macam minuman termasuk kopi, teh plus gula, kreamer dan teko listrik untuk air panasnya. AKu pikir, besar juga ukuran hotel bintang limanya Penang. Belum lagi masuk ke kamar mandinya. Besarnya sama dengan ukuran kamar. Wah..kesempatanku untuk menikmatinya, apalagi cuma sendiri. Asyik......



Rabu, April 15, 2009

Kembali ke Pekanbaru


(Siap-siap kembali ke Pekanbaru. Sebelumnya menyempatkan diri berfoto di depan bandara Batu Berendam Malaka, sekalian mengucapkan selamat tinggal dan semoga bertemu kembali)

Sebelum kembali ke Pekanbaru sekitar pukul 11 siang, paginya kami meninjau rumah sakit yang cukup terkenal MMC (Malaka medical center). Bagi warga Riau, MMC merupakan primadona untuk berobat. Apalagi promosinya sangat gencar di Pekanbaru. Jumlah warga Riau setiap bulannya berobat ke Malaka ribuan. Makanya setiap hari penerbangan jurusan Malaka selalu penuh.Hanya dengan waktu 15 menit sudah tiba di Malaka. Begitu juga speedboat dari Pekanbaru ke Malaka yang hanya memakan waktu sekitar 7-8 jam dipenuhi penumpang. Ongkosnya pun relatif terjangkau.
Dan yang pasti bukan transportasinya yang mudah itu mengapa warga Riau lebih suka berobat ke Malaka. Pelayanan mereka memang sangat memuaskan. Mulai dari bandara atau pelabuhan, pengunjung yang mau berobat sudah disambut pihak rumah sakit. Sampai di RS, calon pasien langsung ditangani. Tak perlu menunggu. Pasien diantar sampai ke dokter yang menanganinya. Untuk keluarga sudah pula disiapkan penginapan yang relatif terjangkau di lingkungan rumah sakit. Demikian juga dokternya yang memberi penjelasan sedetil mungkin tentang penyakit pasien. Sebelumnya diobati, pasien dicheck up dulu untuk mencari dimana sumber penyakit, kemudian barulah diobati.
Karenanya, pujian demi pujian mengalir dari bibir pasien yang sudah pernah berobat ke Malaka. Tentunya dari segala sisi.
Setelah kami sampai di MMC yang ternyata tak jauh dari hotel, kami disambut dan dikumpulkan di sebuah ruangan untuk menerima penjelasan. Di sana saya sempat melihat kliping berita teman-teman di Pekanbaru (Riau Pos) yang memberitakan tentang MMC. Oleh pihak MMC, kliping berita tersebut ditempelkan di dinding, sehingga semua orang bisa membacanya.
Selesai mendapat penjelasan, kami dibawa keliling rumah sakit. Kesannya memang tak jauh beda dengan cerita yang berkembang di Pekanbaru. Pelayanan yang ramah, bersih dan mengedepankan kenyamanan.
Di MMC kami tak begitu lama, langsung menuju bandara Batu Berendam Malaka. Kami siap-siap kembali ke Pekanbaru dengan membawa oleh-oleh yang begitu banyak. Oleh-oleh terpenting sekaligus PR, adalah menulis pengamalan selama diundang Menteri Kebudayaan Malaysia, baik di Penang, Genting maupun Malaka.
UNtuk laporan tersebut tulisanku tiga kali bersambung. Sayangnya laporan itu sudah tak ada. Aku lupa menyimpannya. Ketika aku pindah kantor, semuanya juga hilang. Dan dalam blog ini, aku mencoba kembali mengingatnya, walau tak selengkap laporan awalnya. Tak apalah, yang penting aku sudah bisa mengabadikan pengalaman tersebut, yang mudah-mudahan berguna untuk semua.

Selasa, April 14, 2009

Semalam di Malaka


Pemandangan di belakang Hotel Century Malaka sebelah kanan tempat saya mengambil foto.

Ini juga view belakang Hotel Century di sebelah kiri yang diambil dari beranda hotel. Tampak di kejauhan sebuah pulau yang berdiri bangunan permanen.

(Kenteng Cheng Hong Teng, klenteng tertua di Malaka. Waktu kami ke sana, klenteng bersejarah ini sedang dipugar. Namun yang mau beribadah tetap saja ramai)


Sore hari, kami tiba di Kota Malaka yang terletak di pinggir laut. Kami langsung menuju Hotel Century untuk beristirahat dan membersihkan diri. Seperti di Penang, Genting, di hotel ini juga kami disediakan kamar untuk sendiri. Walau ukurannya tidak terlalu besar (seperti mutiara beach resort di Penang), di Century lebih mirip seperti apartemen. Ruangannya lengkap. Ada kamar tamu lengkap beserta bofet dan kursi, ruang dapur dan alat memasak, dan tentunya ruang tidur plus kamar mandi. Yang sangat menyenangkan bagiku adalah pemandangan di jendela kamar langsung berhadapan dengan laut lepas. Selain itu, tampaknya pemerintah Malaka sedang berusaha membuat sebuah pulau (atau memang sudah ada sejak dulu) yang kelihatan jangan jelas dari jendela kamarku. Jadi, walau sendiri di kamar, aku sangat enjoy menyaksikan pemandangan sambil menunggu waktu maghrib dan makan malam.
Di Malaka acara kami bebas. Tak ada penyambutan resmi. Karenanya, usai makan malam kami langsung berkeliaran, menikmati Kota Malaka di malam hari. Kebetulan di sekitar tempat menginap kami banyak berdiri mal-mal megah. Dengan jalan kaki saja kami sampai di salah satu mal. Di sini aku berkeliling dengan beberapa teman. Sebagai tanda mata, aku membeli kaset Malaysia dan sebuah film legendaris P Ramlee, berjudul Pak Belalang.
Setelah rasanya cukup berjalan, kami kembali pulang ke hotel. Ada juga yang pergi lagi ke luar dan ada yang nongkrong di club hotel sambil menikmati live music. Kalau aku mendingan di kamar, istirahat. Tapi cuma sebentar, tak lama aku dipanggil teman-teman ngumpul di kamar Iwan sambil diskusi. Maklum, besoknya kami akan kembali ke Pekanbaru.

Dari Genting ke Malaka


Usai menjalani cowboy show, berfoto dengan aktor dan aktris yang sebagiannya dari Indonesia.

Aksi cowboy yang cukup menegangkan.

Salah satu atraksi orang utan di A Famosa Malaka.

Mobil berjeruji besi yang membawa pengunjung keliling di Taman Safari A famosa.

Hanya semalam kami menginap di Genting. Besoknya, setelah berkeliling di Genting, kami melanjutkan perjalanan ke Malaka. Jarak tempuhnya sekitar dua jam. sebelum sampai di Malaka dan tempat penginapan Hotel Century Malaka, ternyata kami dibawa ke sebuah tempat rekreasi seperti Taman Safari Cisarua Bogor. Namanya A ' famosa. Hanya saja di A'Famosa hiburannya lebih lengkap. Tidak semata taman safari. Tetapi masih ada lagi wisata pertunjukan aneka binatang seperti di Ancol dan sebuah pertunjukan tentang aksi heroiknya para cowboy. Tiga tempat ini saja yang kami nikmati. Saya lupa berapa luasnya taman A'famosa ini. Soalnya di sini juga tersedia hotel, lapangan golf, kolam renang dan wisata kolam buatan seperti danau.
Oya, sebelum ke A'Famosa, kami menyempatkan diri singgah di Menara Kembar Petronas yang terkenal itu. Walau tak sempat naik ke gedungnya, cukup mengabadikan kedatangan kami berfoto ria di sekitar gedung.
Di A'Famosa kami lebih dulu diajak keliling di Taman Safarinya. Kami naik mobil yang bejeruji besi dan dilapisi kaca. Bedanya dengan Taman Safari, di sini tidak boleh menggunakan kendaraan pribadi. Bagi pengunjung ingin berkeliling demi keamanan, harus menaiki mobil yang disediakan pengelola.
Setelah puas diajak berkeliling, kami makan siang di sebuah tempat makan yang sudah disediakan. Saat itu kami langsung ditemani manajer A'famosa David Chow. Dugaan kami saat itu, tentu setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Malaka, ternyata tidak. Kami masih dibawa untuk menikmati pertunjukan aneka binatang, mulai dari singa laut, anjing laut, beruang, monyet, pokoknya banyak deh termasuk jenis burung.
Setelah itu dilanjutkan dengan menyaksikan pertunjukan cowboy, yang pemainnya dari Thailand dan Indonesia (TKI). Aksi mereka cukup menegangkan memang, mulai dari naik kuda dengan kecepatan yang lumayan, aksi penculikan seorang putri seorang suku indian, aksi penyelamatan dihiasi dengan baku tembak dan baku hantam, melompat dari gedung ke tanah sampai akhirnya putri bisa tertolong.
Usai pertunjukan aku mengajak para pemain untuk berfoto. Waktu itulah aku tahu kalau beberapa pemain tersebut berasal dari Indonesia. Di tempat pertunjukan itu juga aku berkenalan dengan pedagang asongan yang juga dari Indonesia. Anak itu bercerita kalau jumlah TKI yang bekerja di A'Famosa cukup banyak.
Karena hari sudah menjelang sore, kami tak sempat berkeliling di A'Famosa yang cukup luas itu. Cukup dari jauh saja kami meihat apa saja yang terdapat di lingkungan A'Famosa, lapangan golf, hotel dan danau. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Malaka langsung menuju Hotel Century yang letaknya di pinggir laut.


Minggu, April 12, 2009

Semalam di Genting


Berpose di depan pintu masuk casino de Genting
(
(Di depan Hotel Highland Genting)  
Makan malam di Genting kami di bawa di sebuah tempat makan melayu. Sebagai tamu kami bebas memilih makanan apa saja. Walau baru beberapa hari meninggalkan 'kampung' di tempat ini serasa berada di rumah, dengan aneka makanan yang selalu dibuat sehari-hari. Termasuk sambel terasinya plus aneka lalapan.
Usai dinner, kami pun dibawa melihat sebuah pertunjukan teater dan tari-tarian. Malaysia benar-benar memanjakan tamunya dengan pelayanan yang memuaskan. Tak ada tempat yang terlewat oleh kami. Tentunya tujuan Malaysia, agar kami memberi informasi yang sebagus-bagusnya tentang negara mereka agar wisatawan Indonesia khususnya Riau berlibur di sana.
Sekitar pukul 11 malam kami keluar dari gedung teater. Di sini kami berpencar. Ada yang ke kafe sekadar ngopi, ke kamar dan tempat lainnya. Aku dan Syamsul sama-sama utusan RPG (Riau Pos Grup) tak mau melewatkan momen terpenting ketika berada di genting. Semua orang tahu, kalau di sini sebagi tempat perjudian terbesar dan dijambangi oleh milyarder dari manca negara. Mereka ke sini memang untuk berjudi. Tapi untuk warga asli Malaysia, dilarang memasuki kawasan ini. Karena kami tamu, aku dan Syamsul bebas masuk dan berkeliling di tempat ini.
Ternyata memang besar dan ramai. Ruangannya sangat luas, dipenuhi aneka permainan judi. Judi rolet, lempar dadu, pokoknya banyak. AKu tak mengenali jenisnya. Saat itu aku sempat menikmati beberapa permainan judi dengan berlama-lama di sebuah permainan. Uang yang sudah ditukar dengan koin pelastik beraneka warna itu dipasang oleh pemain secara bersusun. Sebenarnya aku penasaran, berapa nilai koin plastik tersebut. Warna merah berapa, hijau, kuning biru, aku benar-benar penasaran. Tapi aku tak bisa mendekat, karena di sekeliling mesin judi itu sudah dipenuhi orang. Ku pikir mereka penonton sepertiku atau pendukung pejudi tersebut. Hanya yang bisa kutandai wajah pengunjung dan pejudi yang hampir merata berwajah oriental alias sipit. Juga, yang sempat ku perhatikan para pemainnya banyak yang tua, perempuan dan hanya sedikit yang muda.
Para pejudi ini juga banyak yang stres ketika bangkrut. Tak sedikit pula yang melakukan bunuh diri dengan terjuan melalui jendela kamar. Pantesan, ketika aku masuk ke kamarku, yang kuperhatikan bagian jendela. Setelah ku buka tirainya, aku ingin membuka langsung jendelanya. tetapi ternyata tak bisa. Jendelanya sudah dikunci mati. Namun pemandangan yang sangat eksotis di luar masih tetap bisa dinikmati dari kaca jendela.
Lewat tengah malam sekitar 12 lewat aku baru kembali ke kamar. Karena kelewat asyik melihat ratusan orang bejudi, aku jadi lupa waktu. Setelah menyelesaikan segala sesuatunya sebelum tidur, aku pun mencoba berbaring. Mungkin karena memang sudah lelah, tak susah aku terbang ke alam mimpi. Tapi rasanya belum pulas betul aku tidur, tiba-tiba tubuhku diinjak sepasang kaki dengan betis yang cukup indah. AKu tak bisa melihat wajahnya. Yang bisa aku lihat cuma kakinya sampai perbatasan lutut. Rasanya cukup berat. AKu pun berusaha menghilangkannya dengan membaca ayat kursi dan ayat-ayat lainnya. Aku takut tapi harus ku lawan ketakutan itu. Sebab aku hanya sendiri. Untuk pergi ke tempat Lucy, aku khawatir bisa mengganggunya. Mana tahu dia lebih suka sendiri. Ya, malam itu walau penuh ketakutan akhirnya aku bisa tertidur juga sampai pagi.
Ternyata cerita mistis lainnya datang dari Syamsul. Katanya, ketika dia mau tidur, tiba-tiba air di westafelnya mengalir sendiri. Padahal dia sudah mematikannya. Intinya, apa yang kami alami di Genting konek dengan cerita banyaknya orang bunuh diri di Genting karena kalah judi. Hi..untungnya cuma satu malam di Genting, sempat beberapa malam....mau nggak mau aku akan gabung bersama teman-teman.
Keesokannya, sebelum menuju Malaka, kami berjalan-jalan dulu mengitari Genting dan melihat semua permainan yang ada di sana. Beberapa permainan tak ubahnya seperti di Dunia Fantasi. Bayangkan, di puncak gunung yang letaknya jauh di pinggiran kota, ternyata terdapat sebuah tempat hiburan yang gemerlap.

Jumat, April 10, 2009

Dari Penang ke Genting


Inilah skyway yang membawa pengunjung ke puncak gunung, di tempat hiburan besar di Malaysia. Pemandangan sekitarnya berupa hutan alam yang bikin pemandangan tambah segar.

Di perjalanan menuju Kuala Lumpur, rombongan kami berhenti sejenak di bengkel untuk perbaikan AC.

(Kami juga menyinggahi tempat wisata Bukit Bendera. Karena sedang diperbaiki, kami hanya bisa berfoto di halamannya saja. Tampak jalan setapak berupa tangga menuju bukit Bendera)


Dari Penang menuju Kuala Lumpur memakan waktu sekitar empat jam naik van. Tujuan kami ke Genting, salah satu tempat wisata (beberapa permainan di Dufan) dan perjudian terbesar di Asia Tenggara yang letaknya di atas puncak gunung. Sebelum ke Genting, kami sempat singgah ke Batu Cadas dan Buki Bendera. Hanya saja di Bukit Bendera tak bisa naik, karena sedang perbaikan. Perjalanan kami lanjutkan langsung ke Genting. Sebelumnya, kami singgah ke sebuah rumah makan Padang untuk makan siang.
Jalan menuju Genting cukup tenang dan nyaman. Jalan terdiri dari dua jalaur. Pemandangan kiri dan kanan sangat indah dan alami. Masih banyak pohon hutan yang tidak ditebang. Makin mendaki cuaca makin terasa dingin. Suasana pegunungan sudah mulai terasa. Tak ingin mata ini berkedip walau sedetik pun, sebab takut melewati indahnya pemandangan. AKhirnya kami sampai juga di kawasan tempat kereta gantung (skyway) berada. Bagi yang ingin langsung menuju puncak gunung (lokasi Genting) dengan mobil bisa melewati jalan yang berliku. Tapi cukup jarang yang melewatinya. Pengunjung lebih suka memarkirkan mobilnya dan menaiki kereta gantung menuju Genting.
Sebenarnya tidak begitu mengerikan naik kereta gantung ini. Apalagi sudah pernah naik di TMII. Namun rasa ngeri itu tetap saja hinggap menyelimuti dada. Bagaimana tidak. Jarak tempuh dari terminal kereta menuju puncak cukup jauh. Lagi pula talinya tidak lurus melainkan mengikuti arah puncak gunung yang menanjak. Dan yang membuat ngeri sebenarnya pemandangan di bawah kereta. Di mana semuanya masih hutan. Jika memandang ke bawah, timbul rasa was-was. Bagaimana kalau jatuh, tentu langsung mati dan susah mencari jasad yang tertimbun hutan.
Untungnya rasa itu bisa dinetralisir dengan candaan teman-teman. Rasanya cukup lama berada di dalam kereta. Setalah sampai, betapa leganya hati ini.
Kami langsung disambut petugas di Genting dan dibawa ke ruang pertemuan. Di sana kami dijelaskan sekilas tentang sejarah Genting dan apa saja yang ada di dalamnya. Setelah itu kami langsung dibawa ke kamar di Genting Hotel. Seperti di Penang, kamar yang kami tempati sendiri-sendiri.


Pengalaman Tak Terduga


Pak Lurah Pesisir, Kecamatan Limapuluh, Pekanbaru H Desfan karim MSi bersama istri saat menjenguk almarhumah Neti di kediamannya.

Pas aku buka file fotoku, terlihatlah salah satu foto ini. Alhamdulillah, ternyata tidak ku hapus semuanya. Sebelumnya, waktu kunjungan kepada warga miskin yang harus cuci darah setiap dua kali seminggu ini, cukup banyak. Tapi setelah ku dengar kabarnya meninggal dunia, aku pun menghapus fotonya. Pikirku saat itu untuk apa menyimpan foto tersebut. Di samping itu aku tak mengenali mereka. Kedatanganku ke sana hanya sebagai wartawan yang meliput kunjungan lurah terhadap warganya yang miskin tetapi belum memiliki askeskin (asuransi kesehatan miskin). Itu pun aku tak mengetahuinya kalau Pak Lurah tidak meneleponku. Karena misinya sosial, maka aku mau ikut meliput langsung. Padahal bisa saja aku meminta salah satu reporter untuk meliputnya. Kebetulan juga aku sedang santai saat itu, maka aku putuskan siap meliput kasus itu.
Kondisi Neti (kalau tak salah itu namanya), sangat memprihatinkan. Badannya yang kurus dan sakit-sakitan membuat ia kelihatan tua dari umurnya. Penghasilan orangtua sebagai pedagang kecil tak mampu mengobati Neti, apalagi harus cuci darah setiap dua minggu. Sebelum adanya askeskin, untung masih ada saudara yang mau membantunya.
Ternyata, di sebelah rumah Neti terbaring juga seorang nenek renta yang keluarganya termasuk golongan miskin. Nenek tersebut begitu lemah, tak berdaya. Ketika kami menjenguknya, matanya hanya terpejam sambil nafasnya agak lamban. Sesudah cukup rasanya menjenguk dan memberi bantuan sekedarnya, kami pun pamit pulang.
Baru saja beberapa langkah kami berjalan, kebetulan aku dan tiga orang rombongan Pak Lurah berada di barisan belakang, keluarga nenek yang sakit itu memanggil.
''Tolong, cepat ke sini lagi. Kondisi nenek nampaknya sudah sangat parah,'' ujar salah seorang keluarga nenek.
Mendengar itu aku dan tiga orang tersebut bergegas kembali ke rumah nenek. Sementara Pak Lurah dan beberapa stafnya sudah duluan pergi. Langsung saja kami masuk dan mendekati nenek. Aku langsung mengambil posisi bagian kepala nenek, agar lebih bisa membisikkan kalimat Tauhid kepadanya. Nafas nenek tinggal satu-satu. Tampaknya nenek sangat sulit bernafas. Ketika dia menarik nafasnya, rasa-rasanya kita yang ikut sesak. Tak henti-hentinya aku berbisik ke telinganya sambil mengucapkan Laa ilaaha illallah...berkali-kali sampai ajalnya tiada.
Selama hidup, baru sekali itulah aku melepas orang menghadap Ilahi rabbi. Kapasitasku sebagai wartawan lagi, yang notabenenya aku adalah orang asing bagi penghuni rumah duka. Mungkin sudah takdir kami berada di situ, sebab tak seorang pun dari keluarganya yang terdiri dari anak dan menantu serta dua cucu yang masih kecil, ikut membisikkan kalimat Tauhid. Hanya aku dan dibantu seorang staf kelurahan yang membisikkan di kuping satunya, meniru apa yang sudah ku lakukan. Benar-benar pengalaman yang sangat berharga bagiku.
Setelah kabar meninggalnya nenek diketahui warga sekitar dan diumumkan di musalla terdekat, barulah kami beranjak ke rumah dengan perasaan yang tak bisa aku lukiskan.



Rabu, April 08, 2009

Titik Gembok

Ifa: Ma, kalau ifa ulang tahun minta diari dan foto depo, ya.
Mama: Apa, Depo? Siapa itu Depo.
Qila: itu lho Ma, bintang idola cilik di RCTI.
Mama: O....(sementara si Ifa senyum-senyum)
Ternyata anak-aak sudah punya idola tersendiri. Untung sama-sama cilik, kalau dia mengidolakan artis dewasa, bisa berabe, nih!
Mama: Kalau diari, oke ya, bisa mama belikan. Tapi foto Depo? Orangnya aja mama nggak tahu.
Qila: Banyak kok ma, yang menjualnya di sekolahan.
Mama: O....yang seperti itu ya.
Kebetulan memang ada beberapa foto gambar anak-anak yang sedang menyanyi ukuran setengah postcard, tergelak di meja. Si mama pun melihat sebentar, tapi tak ada yang namanya Depo.
Mama: Memangnya berapa harganya? Kan bisa beli sendiri.
Ifa: Cuma seribu, sih...
Keesokan harinya Ifa mendekati mama.
Ifa: Nggak jadi diari lah ma, uang aja, ya.
Mama: Lho, kok bisa berubah begitu. Memangnya Ifa mau beli apaan?
Ifa: Pokoknya ada aja. Ya, ma, uang aja titik gembok.
Wah...biasanya s Ifa kalau sudah mengakhiri sesuatu dengan titik gembok, ngga ada tawar menawar lagi. Pokoknya kalau udah titik ya titik. Biar ngga bisa dibuka titiknya digembok. He....si mama awalnya nggak tahu istilah anak-anak dengan titik gembok ini. Setelah dijelasin, baru ngerti. Ada..aja bahasa gaulnya anak-anak.

Selasa, April 07, 2009

Farhat Abbas dan Nia Daniaty


Farhat Abbas bersama istrinya Nia Daniaty mengunjungi Rtv yang berada satu komplek dengan Riau pos, sore Selasa 7 April 2009.

Farhat dan Nia di ruang redaksi Riau Pos. Kedatangan mereka hanya untuk silaturahmi.

Saat foto bersama ini aku nggak nyangka kalau yang datang itu Nia dan Farhat. Aku yang sedang dipunggungi mereka bersembunyi di balik meja komputerku karena asyik ngeblog, baru nyadar ketika teman-temanku berebutan untuk difoto bareng.

Juara Tenis Meja


Minggu malam senin kemarin (5/4/2009), resepsi HUT PWI ke 63 dan Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang digelar di Gedung Daerah (kompleks kediaman gubernur Riau). Malam puncak tersebut diis dengan pemberian hadiah bagi pemenang lomba tenis meja, bola kaki dan tulisan jurnalistik bagi anggota PWI Riau. Kebetulan aku mengikuti lomba tenis meja untuk wartawati Riau dan keluarga wartawan Riau. ALhamdulillah, aku berhasil menyisihkan beberapa lawan mulai dari babak penyisihan, semi final dan final.
Sebenarnya aku nggak pinter-pinter banget main tenis meja. Biasa saja. Paling-paling di atas pemula dan dibawah yang mahir (he..he..). Itu karena waktu aku nyantri di Pondok Pabelan, jika ada waktu dan kesempatan, kuisi waktu soreku dengan main tenis meja bersama kawan-kawan. Jika ada pertandingan antar kelas atau kamar, aku ikut mewakili kelas atau kamar. Untuk tingkat pondok, aku pernah memperoleh juara satu juga.
Ternyata hobiku main pimpong sewaktu di pondok membawa berkah saat aku kuliah di IAIN Syahid Ciputat (sekarang UIN). Pada Porseni mahasiswa 92, aku mewakili fakultas Adab, dan alhamdulillah berhasil lagi di posisi pertama.
Begitu juga ketika berada di lingkungan tempat tiggalku, aku diikutkan oleh RW sebagai wakil dari musalla dekat rumahku. Ya, selama aku bisa dan sempat, aku oke-oke saja. Padahal aku saat itu dalam kondisi hamil enam bulan. Tapi bisa juga main dan juara satu lagi. Pialanya untuk musalla.
Setelah itu juga mewakili Riau saat Porwanas 2005 lalu. Kalau di sini aku tak bisa merebut peringkat pertama. Tapi meskipun begitu di tingkat nasional tersebut, aku masih bisa meraih juara harapan. Perjalananku kandas ketika aku melawan kontingen Lampung di babak semi final. Permainan mereka memang hebat. Ku akui itu. Persis perti atlit beneran.
Dan memang, mereka mempersiapkannya selama beberapa bulan yang dilatih oleh pemain nasional beneran.
Terakhir, pertandingan tenis meja yang kuikuti ya sekarang ini. Mudah2an dengan kemenangan ini aku bisa ikut Porwanas yang tempatnya mungkin di Jawa Timur, Jakarta atau Irian. Maunya sih di Papua itu, sekalian bisa jalan-jalan jauh gratis.
Oya, selain tenis meja, aku juga pernah mewakili Riau ke tingkat nasional dalam acara MTQ Wartawan di Asrama Haji Pondok gede Jakarta, 2003 lalu. Aku ikut cabang murottal. Karena sebagai santri Pabelan tentu saja aku bisa mengaji dan menguasai tajwidnya. Tapi kalau untuk cabang tilawah, nggak deh. Nggak bakal berani. Soalnya aku tau diri dengan suara yang pas-pasan seperti ini. Saat itu aku ketemu dengan Awan (Mauludin Anwar) dan istrinya Titin. Duh...bahagianya aku saat itu. Karena keduanya karibku di kampus. Kami juga sekelas. Ternyata Awan yang sekarang wartawan SCTV ikut lomba murottal juga.
Selama pertandingan aku dan titin mengamati penampilan lawan-lawanku se Indonesia. Ada saja yang kesalahan yang kami ketahui. Maklum aku dan Titin kan sama-sama mantan santri. Titin Gintung, aku Pabelan. Sedikit banyaknya tahulah ayat-ayat / makhraj yang sedang dibacakan. Ada suaranya bagus tapi tajwidnya jelek. Ada juga yang hampir sempurna di akhir ayat keliru dikit.
Nah, pas giliranku, Titin ini lebih teliti, lebih memperhatikan bagaimana penampilanku. Setelah selesai dan belum duduk di tempat dudukku, ustad pembimbingku memberi acungan jempol. Aku anggap biasa aja. Ku pikir itu hanya sebagai dukungan saja karena aku selesai menjalankan tugasku sebagai duta Riau.
Ku lihat raut wajah Titin juga sumringah menyambutku. Dia bilang bagusan aku dari yang lain-lainnya. ''Kayaknya elu deh Nur juaranya,'' kata Titin. Walau dalam hati berharap iya, tapi sama sekali tak bisa percaya. Keyakinan Titin bertambah setelah semua peserta tampil, kalau akulah sang juaranya. Yach, yang namanya masih duga-duga siapa yang percaya? Apalagi cuma berdasarkan pendengaran saja. Walau aku juga yakin, aku salah satu juaranya, tapi bukan juara satu tentunya.
Sampailah malam pengumuman tiba. Juara pertama tilawah putra dan putri akan mendapat hadiah haji plus sejumlah uang. Sedangkan juara satu murottal, hadiahnya umroh dan uang. Nggak bisa dipercaya, ternyata dugaan Titin benar. Aku berhasil meraih juara pertama. Oya, selain umroh dan uang para pemenang juga mendapat piala. AKu saat itu mendapat piala dari Bang Yos (Sutiyoso) Gubernur DKI waktu itu.
Sayangnya, hadiah umroh yang kami harapkan (kebetulan utusan Riau dua2nya juara satu murottal) tak kunjung tiba. karena tak lama kemudian, Menteri Agama Said Agil tersandung DAU (Dana Abadi Umat). Hadiah yang dijanjikan untuk kami itu berkemungkinan menggunakan dana tersebut.
Pulang dari Jakarta, kami (kontingen Riau) disambut sukacita oleh teman2.karena Riau jugasebagai juara umum pada MTQ wartawan nasional tersebut. Selain murottal, cabang tilawah putra juara 2, cabang anak-anak juga ada yang menang. Bonus pun sudah menanti kami. Asyik...
Baru saja aku ingat, anak temanku sewaktu di Pablean Kak Nurudin dan Mba Isna juga ikut lomba hafalan juz amma untuk anak-anak wartawan. Kalau nggak salah, anak mereka mendapat juara juga. Saya tak ingat juara berapanya.
          

Senangnya menerima hadiah juara satu tenis meja putri.

Para juara tenis meja putra dan putri foto bersama usai menerima sertifikat dan sejumlah uang.

Pemred Riau Pos Raja Isyam Azwar menerima piala dan sejumlah uang sebesar Rp7.500.000 karena Riau Pos berhasil menggondol juara II kejuaraan sepak bola antar media di Riau, dalam rangka HUT PWI dan HPN.

Malam resepsi HUT PWI dan Hari Pers Nasional juga ditandai dengan memberikan penghargaan kepada wartawan senior yang juga dianggap telah banyak mempengaruhi perkembangan media di Riau. Tampak CEO Riau Pos group Rida K Liamsi sedang menerima penghargaan tersebut.

Para pemenang lomba karya tulis novi juara 1, zulmansyah juara dua
(keduanya dari Riau Pos) dan Amril juara tiga dari Riau Mandiri. Foto bersama dengan gubernur Riau, 
ketua dewan juri dan ketua PWI Riau.

Minggu, April 05, 2009

Resensi Buku


Sinopsis Novel PUTRI MELAYU
Jelita Perang dan Cinta



Kemegahan perayaan ulang tahun ke-16 Tengku Farida, puteri tunggal Pangeran Setiakala
dan Tengku Nadia, laksana penutup era kedamaian dan kesejahteraan kaum bangsawan di Sumatera Timur. Kelompok radikal kiri mengobarkan ‘revolusi sosial’ berdarah, dengan teror,
pemerkosaan dan pemancungan--suatu coup terhadap hukum dan pemerintah yang sah.

Hati dan jiwa remaja gadis itu terpaut dan bersambut dengan Tengku Farid, perwira
Tentara Keamanan Rakyat. Farid tergoncang karena gagal melindungi nasib keluarga dan kaumnya dari angkara kaum kiri. Di tengah tekanan batin berat karena buntu meminta perhatian pemerintah pusat untuk melindungi keluarga korban keganasan kelompok kiri, Farid ke Jakarta bergabung dengan Komisi Pencari Fakta menyangkut kecamuk ‘revolusi sosial’ yang sudah banyak memakan korban. Terjebak dalam birokrasi di Jakarta, Farid menemukan dukungan moral dan tumpuan semangat pada Raden Ajeng Sriningsih dan Romonya.

Kembali berjuang di Siantar, pasukan Farid berhasil memperlambat kemajuan tentara Belanda pada agresi I. Tragis, dia gugur sia-sia disergap pasukan radikal kiri, yang selalu merampas senjata untuk menjadi kelompok dominan.Farida, sebagai tawanan, nyaris kehilangan kehormatannya diperkosa oleh komandan kiri.

Dua peluru melesat sipi di kepala Letnan Umar yang memergoki upaya mesum itu. Menjelang agresi-1 Belanda, kota minyak Pangkalan Berandan di bumi hangus. Farida, sebagai tawanan-perawat, menghadapi maut karena demam malaria dan kobaran api yang menyeberang ke asramanya. Kolok mengungsikannya ke keluarga yang tidak dikenalnya, di suatu kampung. Di sana Farida hidup dalam lingkungan jelata. Dia berhasil beradaptasi. Seorang pemuda, Sanusi, diam-diam mencintainya.

Umar bertugas menjadi komandan menghadang kemajuan pasukan Belanda, pada agresi-1, di seberang sungai Stabat. Nyawanya hampir direnggut oleh hempasan dan kepingan peluru meriam Belanda. Invalid, dia bergabung dengan Mayor Johan, komandan ‘kapal siluman’, yang
menyelundupkan senjata dari Semenanjung Melayu untuk pasukan Republik di Aceh.

Menjelang Belanda harus meninggalkan Indonesia, Farida kembali ke Tanjung Pura. Yang ditemuinya adalah puing-puing rumahnya dan puing-puing harapan. Farida memusatkan upaya memperoleh informasi akurat tentang nasib ayahnya, Farid dan lainnya. Nasib mempertemukannya kembali dengan Umar yang menjadi ketua markas legiun veteran yang baru dibentuk di Binjai. Tertempa dan ditempa oleh pahit-getirnya pengalaman dan perjuangan menuju alam merdeka yang dibayar dengan segenap pengorbanan, mereka menatap masa depan dalam kedewasaan.

Di bandara Kemayoran, Farida terkesima mengamati anak perempuan sekitar lima tahun. Raut muka dan sorot matanya laksana cerminan Farid. ‘Ke Medan, bersama bunda, mencari romo…,’ ujarnya menjawab pertanyaan Farida.
‘Siapa namamu, gadis manis?’
‘Farida,’ jawab si cilik dengan senyum menawan. Dia melangkah berlalu ‘…bersama bunda,’
gumamnya, sambil tersenyum memandang Farida, lalu berbelok ke ruang tunggu.

Di Hotel Transaera, Gambir, Jakarta, Farida kembali berujar pada suaminya, Umar, tentang Farida kecil yang mencari Romonya di Medan bersama bundanya, wanita ayu berkebaya pendek. Mata gadis cilik itu adalah cermin dari Farid.

Gemertap roda besi kereta api menggilas baja rel menjauh dari stasiun Gambir. Lengking lokmotifnya makin sayup. Kuda baja itu akan selalu datang dan pergi, laksana kenangan yang
menderu, senyap, menjauh, mendekat berulang kali.***

Judul Buku: Putri Melayu, Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian.
Pengarang: Amiruddin
Tebal: 428 Halaman
Penerbit: Bentang Jogyakarta
Harga    : Rp49.000






Kamis, April 02, 2009

Mbah dari Bantul


Demi Upah Rp7.000, Rela Berjalan Dua KM

Wajah si Mbok keriput dan legam. Giginya tak utuh lagi. Di �
kakinya terdapat bekas luka yang kelihatannya seperti gigitan hewan liar. ''Ya, iki la, digigit anjing to, Ndhuk,''ujar nenek 60 tahun lebih ini.
Nenek ini berasal dari Bantul, Jogjakarta. Mereka mencoba mengubah nasib di Pekanbaru. Pekanbaru sebagai kota yang berkembang cukup pesat, menjadikan kota ini sebagai tempat mencari hidup. Begitu juga si mbah Lagiyem ini, mencoba mengubahnasib di Pekanbaru. Usia senja tak membuat semangatnya redup mengisi hidup.
Mbah Lagiyem benar-benar mencari rezeki halal. Dia tak mau mengemis. Ia rela berjalan dua kilometer demi mengejar upah cuci Rp7.000 sehari.
Saat berjalan, ia terlihat sedikit bungkuk dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Untuk orang seusianya, 60 tahun, si Mbah termasuk kuat dan masih bisa berjuang untuk hidup dengan tidak berharap dari belas kasihan semata.
Mbah Lagiyem tinggal bersama cucunya Ali (20) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas. Juga ada Sugiyem, kakak satu-satunya yang sangat ia kasihi. Mbakyu, panggilan akrabnya untuk sang kakak, lebih tua 15 tahun darinya.
Selain sebagai buruh cuci, si Mbah juga menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya, hanya untuk mendapat upah Rp7.000 sehari. ''Itu pun kalau mereka ngak nunggak,'' jelasnya. Jika pemakai jasanya menunggak, maka sangat boleh jadi si Mbok, si Mbah dan cucunya Ali tidak akan makan satu hari itu.
Banyak juga yang kasihan dengan si �
mbah dengan memberikan uang tanpa menggunakan jasanya. Tetapi dia menolak dengan halus. Sebab ia tak ingin diberi uang tanpa berbuat apa-apa untuk orang tersebut. ''Biar miskin dan buta huruf, Mbok gak akan mengemis,'' ujarnya bersahaja.
Keberadaan mereka sudah 21 tahun lalu. Kala itu, Pekanbaru masih sebuah kota yang tenang dan masih banyak hutannya.


Rabu, April 01, 2009

Santai dengan Mamnoor


Ketika semua kakak-kakaknya sekolah, Mamnoor tinggal sendiri dengan papa mamanya di pagi hari sampai siang. Kebetulan kami ada keperluan membeli sesuatu di Citra Plaza. Sampai di sana, Mamnoor langsung melihat mainan ini. Tanpa ba bi bu lagi minta bermain. Tak bisa ngelak, terpaksa dituruti. Untung jam sekolah. Hanya beberapa orang (anak) saja yang bermain. Jadi, bisa lebih leluasa dan rasanya milik sendiri. Tidak antre, tidak berebutan dan asyik tentunya.

Karena memang ada tujuannya, terpaksa saya yang menjaga Mamnoor dan ikut bermain bersama di wahana tersebut. Sedangkan papanya berkeliling mencari yang akan dibeli. Cukup lama juga kami bermain. Mumpung nggak ada orang, saya tak ubahnya anak kecil yang kadang ikut lompat-lompatan dengan Mamnoor. Pura-puranya ngajari Mamnoor, padahal mah aji mumpung.

Mamnoor berusaha memanjat menuju luncuran. Awalnya sih dia minta tolong, karena masih gamang. Tapi tak lama dia sudah lincah sendiri bermain. Walau begitu, Mamnoor nggak mau ditinggalin main sendiri. Harus ada mamanya. Lucunya, mamanya juga harus main bersamanya.

Si kecilku berusaha mencari tempat-tempat yang belum dicobanya, walau letaknya agak nyelip.

Fotoku ini hasil jepretannya Mamnoor. Lucu banget dia pas bidik wajahku. Banyak gayanya.

Mamnoor meluncur sambil melihat kamera untuk difoto.

Sebelum meluncur pun memastikan ada tidak mamanya. Dan yang pasti minta difoto.

Tamu Kantor

Riau Pos memang dijadikan salah satu tempat wisata oleh para tamu, baik regional, nasional maupun internasional. Siapa pun yang datang ke Riau, khususnya Pekanbaru, pasti menyempatkan diri mengunjungi redaksi Riau Pos. Biasanya yang datang itu terdiri dari pejabat, politikus, ilmuan, atau kunjungan wisatawan luar negeri yang sedang melancong ke Pekanbaru.
Kebetulan, tamu Riau Pos yang datang Selasa, 31 Maret 2009 calon Presiden dari Partai Bulan Bintang yang juga mantan Mentri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra. Kedatangan Yusril didampingi para pengurus wilayah PBB Riau untuk menjelaskan beberapa hal. Tetunya sangat erat dengan kampanye yang sedang berlangsung saat ini.
Mantan Menteri Kehakiman RI ini, menegaskan, tuduhan korupsi terhadap dirinya soal proyek sidik jari di Depkeh yang dipimpinnya dulu tak terbukti. ''Hasil audit BPK terhadap saya tak terbukti saya korupsi. Kasihannya staf-staf saya sudah dibikin tersangka,'' ujarnya.


Sistem sidik jari dulu menurutnya sangat bagus karena identitas seseorang akurat. Rencananya mulai dari lahir anak-anak sudah diambil sidik jarinya. Konsep yang lalu itu Depkeh mengambil dokumen sidik jari dari paspor dan Surat Izin Mengemudi (SIM) masyarakat bekerja sama dengan polisi.

Kemudian mesin sidik jari itu memang tidak harus ditenderkan karena tak dijual bebas. Tapi harus dipesan khusus ke negara luar seperti Jerman atau Rusia yang cuma ada tiga produk yakni Darmalock, motorola, dan Rusia.
Yusril tokoh Masyumi ini mengajak masyarakat Riau mendukung perjuangan PBB menekan pajak agar lebih rendah dan tak memberatkan masyarakat. ''Kita kerja setengah mati, dipajak 40 persen. Lama-lama bisa mati usaha kita. Saya punya kantor dipajak Rp1juta per hari. Kalau pajak tinggi, orang lebih suka investasi ke luar negeri seperti Dubai,'' ujarnya.
PBB juga berjuang agar usaha pertambangan mendapat bantuan kredit perbankan terutama pengusaha pribumi, karena selama ini belum ada perbankan membantu kredit pertambangan. Akhirnya pengusaha tambang asing saja yang menguasai usaha pertambangan nasional. Sementara anak jati Indonesia tak mendapat kesempatan dalam usaha pertambangan. Di Eropa pajak tinggi tapi ada kompensasinya bagi warga negaranya, misalnya nonton gratis bagi warga negara yang tua.
''Datuk Maringgih saja tak mau bayar pajak blasting zaman Belanda dulu karena Indonesia ini tanah air nenek moyangnya, pajak mencekik rakyat sendiri,'' tambah Yusril. PBB berjuang untuk Riau di tingkat pusat agar mengamandemen UU No 32/2003 tentang dana bagi hasil (DBH) mencapai titik rasional, pendidikan untuk semua anak tak mampu diberi bantuan, ada Puskesman setiap desa, infrastruktur lebih mendesak dibanding membangun kantor Gubernur atau kantor Bupati.