Rabu, September 09, 2009

Ma..Bonus THRnya, Lho...


Tadi pagi, saat menjemput Aqilla pulang sekolah, dari jauh Qilla berlari kecil mendapatkan mamanya. Setelah mendekat, Qilla menunjukkan ibu jarinya sebagai pertanda dia memang berhasil meraih juara satu di kelasnya pada rapor bayangan.
''Tuh kan Ma, Qilla juara satu. Bonus THR-nya jangan lupa,'' kata Qilla.

Sebelumnya Qilla bakal menerima rapor bayangan Sabtu lalu. Tapi karena instruksi dari Dinas pendidikan Kota, libur Ramadannya tanggal 10 September, terpaksa penerimaan rapor ditunda sampai Rabu, 9 September 2009.

Mengetahui kakaknya Qilla bakal mendapatkan bonus, Ifa semakin rajin mengajinya. Dia ingin juga mendapatkan bonus THR dengan mengkhatamkan Quran. ''Pokoknya bonus Ifa sama dengan Kak Qilla, ya Ma???''

Lho, lho, lho...dasar anak-anak. Bisa bangkrut nih.
 

Chevron Bagi Takjilan


(Jajaran manajemen CPI Muhammad Syarkawi, Team Manager Government Relations, Djati Susetya, Manager Policy Government and Pablic Affairs Sumatera didampingi Pemred Riau Pos, Raja Isyam Azwar)

Menjelang buka puasa, Selasa, 8 September 2009, saat sedang asyik2nya kerja, kami redaksi Riau Pos kedatangan tamu istimewa dari manajemen PT CPI (Chevron Pacific Indonesia). Kedatangan mereka membawa takjilan es teler, teh hangat dan snack serta nasi kotak. Tentu saja kami yang biasanya berbuka di kantin belakang kantor merasa senang mendapatkan menu yang berbeda. Apalagi yang hadir sedikit, sementara makanan yang dibawa cukup banyak. Bisa nambah deh. Tapi yang namanya puasa, kalau udah buka, minum dikit aja rasanya kenyang banget....
Oya, dalam satu minggu saya dan kawan-kawan harian khususnya tim Metropolis hanya sekali bisa berbuka di rumah, hari Sabtu saja. Selebihnya, dari Minggu sampai Jumat, buka puasanya di kantor di kantin belakang. Kami diberi bajet hanya Rp12.500 per orang. Kalau lebih, ya bayar sendiri kelebihan tersebut.
Kalau tahun lalu, kebetulan pas Ramadan saya memegang terbitan Minggu. Setiap hari bisa buka puasa di rumah kecuali hari Sabtu. Tapi walau begitu, saya tetap bisa mempersiapkan tajilan dan makanan untuk di rumah. sebab saya berangkatnya dari rumah jam tiga sore. Kalau saya tak rapat, biasanya berangkat dari rumah jam lima sore. Karena saya memegang Metropolis, yang deadlinenya paling cepat dari koran lainnya, jadinya jam kerja saya sore (biasanya dimulai dari jam lima atau lebih) sampai jam delapan malam. Benar-benar ngejar deadline, berpacu dengan waktu. Tapi semua itu tak ada masalah. Untungnya teamwork kita bagus.
Anak-anak juga alhamdulillah, nggak ada masalah. Papanya juga. Apalagi papanya tahun ini jarang juga buka di rumah, karena hampir setiap malam safari Ramadan ke jajaran kepolisian. MUlai dari polda, Poltabes sampai ke polsek-polsek yang ada di Pekanbaru dan di luar kota.

Selasa, September 08, 2009

Ketika Dakwah Santun Menembus Rimba Papua



Kunjungan Ustad M Zaaf Fadzlan Rabbany Al Garamatan ke Redaksi Riau Pos, Senin 7 September 2009 

Suatu siang menjelang petang. Lelaki muda mengenakan sorban itu berjalan memasuki sebuah kampung pedalaman di Papua. Beberapa orang mengikutinya. Langkah mereka terhenti di perbatasan kampung tersebut. Sang kepala suku kampung itu telah mengetahui bakal kedatangan tamu dari kota itu menyambutnya dengan posisi panah siap tembak.
Wajah anggota rombongan lelaki itu menjadi tegang. Namun tidak dengan lelaki yang memimpin rombongan. Ia tetap tenang. Senyum tak lepas dari bibirnya. Ketegangan makin memuncak karena sang lelaki itu tetap tidak mau berbalik arah seperti perintah kepala suku. Kesabaran kepala suku pun habis sudah. Swiingg.., panah beracun itu pun meleset dan menancap di lengan kanan lelaki muda itu yang coba menangkis. Ia mencabutnya darah pun mengucur.
Swiing.., panah kedua pun melesak menancap lengan kirinya. Ia
terjatuh dengan darah mengalir deras dari kedua lengannya.
Sang kepala suku seakan tak percaya karena lelaki muda itu berdiri sembari mencabut anak panah di lengan kirinya. Dengan langkah pasti tanpa senjata lelaki muda melangkah mendekati sang kepala suku. Setelah dekat ia mengulurkan tangannya. ''Terimakasih bapak telah menyambut kami di perbatasan kampung. Jika memang tidak diizinkan masuk kami permisi untuk kembali.'' Sang kepala suku terpana menyaksikan sikap santun anak muda
yang bersimbah darah di lengannya itu. Tatkala si pemuda berbalik
arah dan mengajak rombonganya balik ke kota, sang kepala suku tak
kuasa menahan tangis dan memekik memanggilnya. ''Anak, kemari
anak maafkan perlakuan saya silakan masuk ke kampung kami,''
ujarnya.
Lelaki muda itu berbalik seraya berkata, ''Tidak apa-apa bapak, saya menghormati perintah bapak untuk tidak masuk kampung, kami akan tetap kembali,'' ujarnya lagi.
Seolah ingin menebus rasa bersalahnya sang kepala suku menawarkan untuk mengantarkan si anak muda itu hingga ke kota. Maka diantarlah anak muda itu hingga ke kota.
Lelaki muda itu berkunjung ke redaksi Riau Pos. Ya, dialah Al Ustadz M Zaaf Fadlan Rabbany Al Garamatan yang memaparkan pengalamannya itu. Ia hadir bersama rekannya yang mantan artis Ustad M Khoir Hary Moekti yang bintang tamu di acara Roadshow Spesial
Ramadan Dakwah Papua di Kota Pekanbaru yang ditaja oleh Badan Waqaf Alquran.




Ganasnya rimba pedalaman Papua tak membuatnya gentar. Darah asli Papua yang mengalir di dirinya membuat ia paham ganasnya medan. Ia juga paham mengapa anak negerinya tak kunjung bangkit dari kebodohan setelah 64 tahun republik ini merdeka.
''Islamlah agama yang memanusiakan manusia yang belum manusia atau dikondisikan menjadi belum manusia,'' ujarnya memulai perbincangan.

 Dari penjelajahannya ke pedalaman Papua ia menemukan betapa ada orang-orang yang mengkondisikan agar warga pribumi tetap bodoh dan terbelakang. Bahkan ada yang menyusui
anaknya dan juga menyusui babi peliharaannya. Anak-anak muda yang berpotensi maju dicecoki minuman keras dan hiburan yang memabukkan agar tak terbuka akal pikirannya oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Ada yang ingin anak Papua tetap bodoh agar bisa dikuras kekayaan alamnya.
Berbekal ketulusan Fadzlan dan 19 orang rekannya menembus rimba pedalam Papua. Tidur di alam terbuka dan di rumah-rumah penduduk yang disinggahi. Berbincang dengan mereka dan mengajarkan kehidupan yang lebih baik. ''Pertama-tama kami mengajar mereka membersihkan tubuh dengan mandi di sungai dengan sabun,'' ujarnya. Berbagai pengalaman unik dan lucu mereka temui. Mulai dari kepala suku yang baru mengenal shampoo dan tidak mau membi
lasnya karena khawatir kehilangan bau harumnya.
Selama ini mereka diajarkan oleh orang-orang tertentu untuk takut mandi dan melumuri tubuh dengan minyak babi agar tak digigit nyamuk. Ustad Fadzlan datang lalu mengubah mindset itu dan mengatakan justru dengan bersih tubuh menjadi lebih sehat. Ketulusan yang lahir dari lubuk hati membuat orang-orang yang semula animisme itu melihat Fadzlan sebagai orang yang ingin mengubah mereka ke arah yang lebih baik. Fadzlan dan kawan-kawan menga
jarkan mandi bersih itu dengan tidak lelah. Mereka hanya istirahat untuk salat dan makan. Hingga di kalangan rekan-rekannya Fadzlan sempat diledek sebagai ustad "sabun".
Semua itu memancing ingin tahu para kepala-kepala suku tentang salat yang ia dan rekan-rekannya kerjakan. Dialog dari hati ke hati pun mengalir apa adanya. ''Islam tidak memaksakan keyakinan pada orang lain karena sudah jelas dan terang beda antara kebenaran dengan kesesatan,'' ujarnya lagi. Dengan santun Fadzlan berdialog menjelaskan ibadah yang mereka lakukan, apa maknanya dan manfaatnya bagi kehidupan jasmani dan rohani.
''Tugas Islam mencerahkan peradaban dan mencerdaskan setiap orang yang rindu pada kebenaran,'' ujarnya.
Perlahan tapi pasti hidayah menyapa hati kaum pedalaman itu. Ratusan kepala suku masuk Islam yang diikuti oleh belasan ribuan warga sukunya. Hingga untuk mata pelajaran berwuduk yang dibimbing Fadzlan diikuti oleh ribuan orang yang memenuhi sebuah sungai
di pedalaman Papua tersebut. ''Gairah keimanan tumbuh di mana-mana,'' ujarnya.
Kini, lanjutnya, setiap anak-anak muda pedalaman Papua haus belajar Alquran. ''Yang mereka butuhkan bukan sembako dari kaum muslimin tetapi Alquran. Mereka selalu berebutan membacaAlquran,'' ujarnya.
Bahkan saat ini data dari BWA mencatat setidaknya mereka masih perlu 55.000 Alquran lagi. ''Marilah kita ikut menyumbangkan Alquran untuk mereka dan juga dana untuk dai untuk berangkat mengajar ke sana,'' ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, saat ini kaum muslimin yang berminat dapat menyumbangkan dana Rp100.000 untuk satu kitab Alquran dan itu sudah termasuk dana dai yang berangkat mengajar ke Papua.
Sementara itu, Hary Mukti menambahkan bahwa jika kaum muslimin bangun dari tidurnya tidak pernah memikirkan kemaslahatan saudara-saudaranya yang kurang beruntung maka bukan dari golongan Rasulullah (Al Hadist). Hary mengatakan bahwa dakwah adalah perbuatan dan pengorbanan. Dakwah bukan gerak lidah tanpa makna tetapi gerak hati yang siap berkorban.***




Jumat, September 04, 2009

Berburu Bonus THR

Qilla: "Ma, Sabtu Qilla nerima rapor bayangan. Kalau Qilla juara tambahin, bonus THR ya''
Mama : "Kok PD abis ya. Oke deh. Tapi juara 1 aja ya..."
Qilla: "Nggaklah Ma. Tiga besar pokoknya."
Mama : "Ya deh. Tapi bonusnya beda ya. Sesuai tingkat juaranya."

Qilla setuju dengan perjanjian ini. Juara satu sekian, dua sekian dan tiga sekian. Tapi mamanya penasaran, kok bisa-bisanya si kakak ini percaya diri banget kalau dapat juara. Awalnya saat ditanya Qillanya senyum2 aja. Tapi mama terus mendesak. Pasti Qilla punya alasan kenapa bisa se-PD itu.
Akhirnya Qilla cerita juga, kalau pas ulangan, mid, dia nomor satu. Makanya dia PD abis kalau di rapor bayangan nanti bakal dapat juara, walau nggak berharap banget juara satu.

Sebelumnya, awal-awal Ramadan, semua anak-anak kecuali Mamnoor, sudah ngomongin bonus THR. Bukannya ngomongin THR lagi. Kalau THR-nya sih memang sudah wajib. Bonusnya ini lho..yang lagi diburu. Gimana caranya ya, berburu THR itu. E...nggak tahunya cara berburu THR ala anak-anak dengan rajin tadarus ke mesjid. Kalau yang ini mamanya nggak mau kasi bonus. Dengan bercanda mamanya mengatakan selain mengaji, tadarus ke mesjid itu juga mengejar makanan. Soalnya pas istirahat tadarus, biasanya banyak makanan yang datang dari kanan kiri mesjid. Lucunya, anak-anak nggak menampik alasan itu, malah saling melempar senyum.
Dalam hati, syukur anak-anak nggak mendesak. Tapi, anak-anak akan tetap diberikan bonus kalau bisa khatam Quran selama Ramadan. Tentunya di luar tadarusan di mesjid dong..alias mengaji di rumah. Bonusnya agak besar, hampir sama dengan THR. Ternyata, anak-anak setuju. Semangat 45 malah.

Karena ingin mendapatkan bonus, minggu-minggu pertama anak-anak terutama Ifa, sangat rajin mengaji. Habis subuh, zuhur, mereka rajin baca Quran. Pada hari ke lima, saat ditanya sudah sejauh mana mengajinya, Qilla baru juz 5. Berarti satu hari satu juz. Kalau Ifa sudah juz 8. Kelihatannya Ifa lebih ngebut nih. ''Di sekolah Ifa juga sempatkan ngaji, kok.'' kata Ifa. Weleh,weleh...bisa dobel nih bonusnya.

Ternyata, o ternyata, memasuki hari ke delapan sampai sekarang semangat mengajinya mulai kendor. Sudah nggak sesering awal Ramadan. Habis subuh pada langsung tidur sampai jam berangkat sekolah. Habis zuhur kadang ngaji kadang nggak. Sepertinya mereka nggak sanggup mengejar target.