Warga Okura Pasca Ditebangnya Kebun Karet Eks PT Bintan
‘’Kami Takut Kampung Ini akan Sepi Ditinggal Penghuninya’’
Jangan terkejut bila sewaktu-waktu kami mendatangi rumah tuan-tuan, sebab tak ada lagi yang hendak kami makan. Sekarang ini saja sudah banyak teman kami yang bertandang ke seberang, untuk mendiamkan kampong tengah yang terus bergendang. Belum lagi tangisan anak-anak kami yang mulai lantang, sebab tak tahan dengan bujukan kami yang sumbang tentang masa depan mereka .
PULUHAN warga Okura menjerit. Sebuah jeritan yang tak pernah didengar atau sengaja menutup telinga pura-pura tak mendengar? Biar terkesan ketakpedulian terhadap mereka karena tidak tahu, bahwa puluhan jiwa bahkan ratusan sudah lama menangis. Mereka menangis bukan hanya mereka sudah terlalu lama terisolir. Mereka menangis bukan karena mereka sudah terlalu lama dalam kegelapan. Mereka menangis bukan karena jalan menuju tempat mereka tak pernah mulus. Semua itu sudah sejak dulu mereka tangisi, sehingga mereka bosan menyeka sendiri air mata mereka. Sekarang ini tangisan mereka makin menjadi-jadi bahkan disertai jeritan, ketika sumber kehidupan mereka, sebuah kebun karet peninggalan pemerintahan Jepang tiba-tiba saja diratakan buldozer.
Warga Okura terhenyak. Terutama sekitar 80 kepala keluarga yang bergantung hidup dari kebun yang juga eks PT Bintan tersebut. Bulan Maret 2008 lalu, tiba-tiba saja mereka melihat sebuah alat berat siap membabat mata pencarian mereka Jawaban yang mereka terima lebih mengejutkan lagi, kalau kebun yang menjadi tumpuan hidup itu sudah dijual dan dibeli oleh seorang pengusaha bernama Edi Suryanto.
Perwakilan warga Okura, Samiun, Amir Hamzah Ketua LPM (Lembaga Pengembangan Masyarakat) Okura yang juga Kepala Sekolah SDN 019 Okura, terus mencari tahu siapa yang telah berani menjual kebun yang sudah mereka garap sejak tahun 1957 itu? Kalau seandainya dijual, mengapa bukan mereka? Sebab selama itu hingga sekarang, tak ada yang memanfaatkan kebun tersebut selain mereka.
Setelah diusut, warga Okura mendapatkan nama Jarun cs yang telah menjual kebun karet tersebut atas nama Batin Tenayan. Bagaimana pula tanah yang tak pernah bersengketa atau disengketakan selama setengah abad lebih itu tiba-tiba diklaim Batin Tenayan? Mulai saat itu warga Okura merasa terganggu, walau mereka setiap harinya tetap saja menakik getah untuk biaya hidup mereka dan menyekolahkan anak-anak mereka.
Untuk mempertahankan urat nadi kehidupan mereka, warga Okura terus menelusuri hingga ke camat. Ternyata keterangan yang mereka peroleh sudah diterbitkan sebanyak 113 surat dengan luas tanah 226 hektar
Merasa tak mampu menyelesaikan sendiri, warga mengadu ke wakil
rakyat dengan mengirim surat pengaduan tertanggal 17 Maret 2008. Isi surat tersebut mengadukan tanah yang mereka garap setelah penjajahan Jepang dan PT Bintan itu telah diperjualbelikan oleh kelompok Jarun dengan menga¬tasnamakan tanah wilayat yaitu Batin Tenayan. Untuk jual beli tersebut, Camat Tenayanraya sudah menerbitkan SKPT (Surat Keterangan Pemilikan Tanah) dengan nama-nama warga dari daerah di luar Okura, seperti Muara Fajar, Lim¬bungan dan Tenayanraya. Tanah tersebut dijual kepada Edi Suryanto yang kantornya beralamat di Jalan Riau.
’’Kami sebagai warga tempatan sudah berusaha semampu kami untuk memberikan keterangan kepada siapa saja yang berusaha membeli tanah tersebut, bahwa kebun itu tidak pernah kami jual kepada siapa¬ pun,’’ ujar Samiun dan kawan-kawan.
Dengan diterbitkannya SKPT oleh camat dan banyaknya preman serta ada juga aparat membeking di lapangan, membuat warga Okura merasa sangat terganggu dan resah siang dan malam.
Untuk itu warga mohon pertolongan anggota dewan sebagai wakil rakyat yang berpihak ke rakyat dalam hal ini Komisi I DPRD Kota Pekanbaru agar mempertahankan kebun karet yang satu-satunya menjadi hara¬pan hidup warga Okura.
Hanya beberapa saat polemik kebun tersebut sempat menghentikan aktivitas pembeli membabat kebun yang terletak di RT 02 RW 13, Kelurahan Sail, Tenayanraya yang keberadaannya di pinggir Sungai Siak berhadapan dengan Kelurahan Okura, Rumbai Pesisir ini. Namun, aksi penebangan kebun kembali dilakukan ketika kaum muslimin menjalankan ibadah puasa. ’’Lucunya yang dibabat hanya kebun sedang hutan yang ditumbuhi kayu biasa dibiarkan saja,’’ aku warga.
Puncaknya terjadi ketika 12 Ramadan 1429 Hijriah, tepatnya 12 September 2008, di saat umat Islam mau berbuka puasa. Apa yang menjadi kekhawatiran warga selama ini terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya terjadi juga.Bentrok fisik tak terelakkan. Warga Okura meradang dan berupaya mempertahankan sumber kehidupan mereka dengan melawan kaki tangan pembeli. Kebetulan dalam bentrokan fisik menjelang senja di Bulan Ramadan itu, salah seorang kaki tangan pembeli tanah terluka parah, sementara warga Okura juga tak sedikit mengalami luka-liuka. Namun keadilan berpihak kepada lawan, tiga orang warga Okura akhirnya ditahan, Samiun, Ipat dan Marhalim. Penahanan warga ini membuat warga lainnya tak terima dan berusaha berjuang melepaskan rekan mereka dengan mendatangi Polsek Tenayan dan anggota dewan. Tapi sia-sia. Tiga rekan tetap mendekam di balik jeruji besi. Warga akhirnya tak berdaya dan mau tak mau menerima derita yang menimpa.
Praktis, sejak peristiwa itu, warga tak bisa lagi menakik getah. Sementara kubu Edi Suryanto, tetap meratakan kebun karet tersebut. Semua ditebang. Entah hendak ditanam apa.Otomatis pula puluhan warga Okura yang menggantungkan hidup di eks PT Bintan itu terpaksa menganggur. Mereka berupaya pergi ke daerah lain untuk mencari kebun lain dan berharap bisa dipekerjakan.
’’Kami takut kampung ini jadi sepi tak berpenghuni. Sebab, sudah banyak yang pergi mencari sesuap nasi di luar Okura. Jangan terkejut kalau tiba-tiba kami datang ke rumah kalian.Pak Gubernur, Pak Walikota, tolonglah kami,’’ ujat Ilis diamini warga Okura lainnya.
Nada pesimis yang dilontarkan warga Okura bukan ancaman. Tak ada lagi lahan yang bisa membuat mereka harus bertahan di Okura. Mereka ada yang ke luar daerah seperti Kerinci Pelalawan, Pekanbaru, menjadi buruh bangunan atau tukang dan kerjaan lainnya yang membuat mereka bisa tetap survive.
Padahal Ilis dan kawan-kawan mengaku betah tinggal di kampung mereka walau perhatian tak kunjng datang dari penguasa negeri. Jika janji Pak Wali Kota akan lebih memperhatikan mereka yang berada di pinggiran kota tahun 2009 nanti, niscaya akan sia-sia. Sebab warga sudah mulai tiada.
’’Dengan apa kami membayar listrik jika penerang yang kami rindu puluhan tahun itu benar-benar nyata? Kami tak ada daya dan sebagian kami juga sudah mencari tempat lain,’’ tambah Lis.
Ketua LPM Okura, Amir Hamzah, menambahkan, kalau warga Okura yang sudah meninggalkan Okura sekitar 30-an orang. Mereka pergi entah kemana. Yang jelas mereka berusaha mengais rezeki di tempat lain demi kelangsungan hidup keluarga.
OKURA, DULU DAN KINI
Sebelum Indonesia merdeka sekitar tahun 1930-an, Desa Okura sudah memiliki sekolah. Dari SR (Sekolah Rakyat) kini sudah menjadi SDN 019 Okura. Selain warga yang berdiam di Okura, siswa yang sekolah di sini datang dari Desa Melebung dan Tebingtinggi. Untuk mencapai Okura, siswa yang datang dari luar Okura menggunakan sampan. Hal ini berlangsung cukup lama hingga tahun 1960-an.
Akses ke Pekanbaru juga hanya bisa dilewati jalur sungai. Jalan darat belum dibuka. Otomatis, Okura menjadi desa terisolir. Menurut Amir Hamzah, tahun 1995, ketika Okura masuk wilayah Pekanbaru tepatnya Kecamatan Rumbai Pesisir jalan darat dari Pekanbaru (Danau Buatan) menuju Okura baru dibuka.
Perlu bertahun-tahun lamanya menunggu baru bisa diaspal. Namun warga tetap bersyukur untuk ke Pekanbaru yang sampai tahun 90-an masih melewati jalan sungai sudah bisa ditempuh jalan darat, walau kondisi jalan sangat memprihatinkan baik di kala musim panas terlebih lagi musim hujan.
Perhatian pemerintah setiap tahunnya mulai melirik Okura.Sedikit-demi sedikit jalan menuju Okura diaspal, walau di bagian tertentu belum beberapa bulan dipakai kembali hancur. Puncaknya jembatan Okura juga sudah selesai. Warga dengan mudah bolak balik ke Pekanbaru dan anak-anak Okura yang bersekolah di Pekanbaru sudah bisa pula pulang pergi, tanpa harus menetap di Pekanbaru.
Sayangnya, kehausan mereka akan penerangan belum juga dikabulkan. Hingga saat ini mereka masih dalam kegelapan tanpa penerangan dari PLN. Hanya rumah tertentu saja yang terang karena genset dan bisa pula dialiri ke warga dengan bayaran yang lumayan besar, dibanding jika dikelola PLN. Itupun pemakaiannya sangat terbatas. Mereka bisa menikmati listrik yang hanya dijatah beberapa titik saja selama enam jam. Sejak pukul enam sore sampai pukul 12 malam. Setelah itu mereka kembali dalam kegelapan.
’’Siapa yang tak ingin seperti warga di tengah kota. Kapan saja mereka bisa menikmati listrik. Wajar saja kalau kami tertinggal dalam segala hal, karena kami tak bisa menikmati informasi dan perkembangan terkini,’’ aku Sur, RT di Okura.
PERLU PERHATIAN
Berdasarkan janji Wali Kota Pekanbaru Drs Herman Abdullah MM tahun 2009 akan memprioritaskan desa-desa pinggiran termasuk Okura, disambut baik warga. Walau sudah sering dikecewakan, niat baik Pemko tetap disambut antusias. Sayangnya, dengan banyaknya warga asli yang sudah meninggalkan kampungnya, fasilitas yang dijanjikan Pemko jika benar-benar terwujud, tak bisa mereka nikmati.
‘’Namanya pembangunan tetap saja tidak akan sia-sia. Namun yang disayangkan, yang menikmatinya bukan lagi warga tempatan tetapi para pendatang dari luar. Untuk diketahui, tanah, kebun yang ada di Okura sudah banyak dimiliki orang lain. Bisa jadi fasilitas listrik, jalan yang dibangun Pemko menjadikan mereka tertarik tinggal di Okura,’’ jelas Amir Hamzah.
Warga berharap perhatian pemerintah untuk mencari solusi agar warga tetap bertahan di kampung mereka. Salah seorang tokoh pemuda Okura, Yahya anak Raimin, mengharapkan pemerintah membentuk kegiatan padat karya untuk warga Okura, terutama para pemudanya. Yahya, mengatakan, pihaknya dan sejumlah warga lainnya sedang memikirkan dan mencari kegiatan seperti apa yang sesuai dengan keinginan warga. ‘’Yang penting sebuah kegiatan yang bernilai ekonomis. Kalau kebun rasanya saya pesimis, sebab memerlukan waktu lama. Lagipula tanahnya mana?’’ tandas Yahya, yang penerima Anugerah Sagang tahun 2007 itu.***
(Tulisan ini diterbitkan di Riau Pos edisi Ahad 9 November 2008)