Kunjungan Ustad M Zaaf Fadzlan Rabbany Al Garamatan ke Redaksi Riau Pos, Senin 7 September 2009
Suatu siang menjelang petang. Lelaki muda mengenakan sorban itu berjalan memasuki sebuah kampung pedalaman di Papua. Beberapa orang mengikutinya. Langkah mereka terhenti di perbatasan kampung tersebut. Sang kepala suku kampung itu telah mengetahui bakal kedatangan tamu dari kota itu menyambutnya dengan posisi panah siap tembak.
Wajah anggota rombongan lelaki itu menjadi tegang. Namun tidak dengan lelaki yang memimpin rombongan. Ia tetap tenang. Senyum tak lepas dari bibirnya. Ketegangan makin memuncak karena sang lelaki itu tetap tidak mau berbalik arah seperti perintah kepala suku. Kesabaran kepala suku pun habis sudah. Swiingg.., panah beracun itu pun meleset dan menancap di lengan kanan lelaki muda itu yang coba menangkis. Ia mencabutnya darah pun mengucur.
Swiing.., panah kedua pun melesak menancap lengan kirinya. Ia
terjatuh dengan darah mengalir deras dari kedua lengannya.
Sang kepala suku seakan tak percaya karena lelaki muda itu berdiri sembari mencabut anak panah di lengan kirinya. Dengan langkah pasti tanpa senjata lelaki muda melangkah mendekati sang kepala suku. Setelah dekat ia mengulurkan tangannya. ''Terimakasih bapak telah menyambut kami di perbatasan kampung. Jika memang tidak diizinkan masuk kami permisi untuk kembali.'' Sang kepala suku terpana menyaksikan sikap santun anak muda
yang bersimbah darah di lengannya itu. Tatkala si pemuda berbalik
arah dan mengajak rombonganya balik ke kota, sang kepala suku tak
kuasa menahan tangis dan memekik memanggilnya. ''Anak, kemari
anak maafkan perlakuan saya silakan masuk ke kampung kami,''
ujarnya.
Lelaki muda itu berbalik seraya berkata, ''Tidak apa-apa bapak, saya menghormati perintah bapak untuk tidak masuk kampung, kami akan tetap kembali,'' ujarnya lagi.
Seolah ingin menebus rasa bersalahnya sang kepala suku menawarkan untuk mengantarkan si anak muda itu hingga ke kota. Maka diantarlah anak muda itu hingga ke kota.
Lelaki muda itu berkunjung ke redaksi Riau Pos. Ya, dialah Al Ustadz M Zaaf Fadlan Rabbany Al Garamatan yang memaparkan pengalamannya itu. Ia hadir bersama rekannya yang mantan artis Ustad M Khoir Hary Moekti yang bintang tamu di acara Roadshow Spesial
Ramadan Dakwah Papua di Kota Pekanbaru yang ditaja oleh Badan Waqaf Alquran.
Ganasnya rimba pedalaman Papua tak membuatnya gentar. Darah asli Papua yang mengalir di dirinya membuat ia paham ganasnya medan. Ia juga paham mengapa anak negerinya tak kunjung bangkit dari kebodohan setelah 64 tahun republik ini merdeka.
''Islamlah agama yang memanusiakan manusia yang belum manusia atau dikondisikan menjadi belum manusia,'' ujarnya memulai perbincangan.
Dari penjelajahannya ke pedalaman Papua ia menemukan betapa ada orang-orang yang mengkondisikan agar warga pribumi tetap bodoh dan terbelakang. Bahkan ada yang menyusui
anaknya dan juga menyusui babi peliharaannya. Anak-anak muda yang berpotensi maju dicecoki minuman keras dan hiburan yang memabukkan agar tak terbuka akal pikirannya oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Ada yang ingin anak Papua tetap bodoh agar bisa dikuras kekayaan alamnya.
Berbekal ketulusan Fadzlan dan 19 orang rekannya menembus rimba pedalam Papua. Tidur di alam terbuka dan di rumah-rumah penduduk yang disinggahi. Berbincang dengan mereka dan mengajarkan kehidupan yang lebih baik. ''Pertama-tama kami mengajar mereka membersihkan tubuh dengan mandi di sungai dengan sabun,'' ujarnya. Berbagai pengalaman unik dan lucu mereka temui. Mulai dari kepala suku yang baru mengenal shampoo dan tidak mau membi
lasnya karena khawatir kehilangan bau harumnya.
Selama ini mereka diajarkan oleh orang-orang tertentu untuk takut mandi dan melumuri tubuh dengan minyak babi agar tak digigit nyamuk. Ustad Fadzlan datang lalu mengubah mindset itu dan mengatakan justru dengan bersih tubuh menjadi lebih sehat. Ketulusan yang lahir dari lubuk hati membuat orang-orang yang semula animisme itu melihat Fadzlan sebagai orang yang ingin mengubah mereka ke arah yang lebih baik. Fadzlan dan kawan-kawan menga
jarkan mandi bersih itu dengan tidak lelah. Mereka hanya istirahat untuk salat dan makan. Hingga di kalangan rekan-rekannya Fadzlan sempat diledek sebagai ustad "sabun".
Semua itu memancing ingin tahu para kepala-kepala suku tentang salat yang ia dan rekan-rekannya kerjakan. Dialog dari hati ke hati pun mengalir apa adanya. ''Islam tidak memaksakan keyakinan pada orang lain karena sudah jelas dan terang beda antara kebenaran dengan kesesatan,'' ujarnya lagi. Dengan santun Fadzlan berdialog menjelaskan ibadah yang mereka lakukan, apa maknanya dan manfaatnya bagi kehidupan jasmani dan rohani.
''Tugas Islam mencerahkan peradaban dan mencerdaskan setiap orang yang rindu pada kebenaran,'' ujarnya.
Perlahan tapi pasti hidayah menyapa hati kaum pedalaman itu. Ratusan kepala suku masuk Islam yang diikuti oleh belasan ribuan warga sukunya. Hingga untuk mata pelajaran berwuduk yang dibimbing Fadzlan diikuti oleh ribuan orang yang memenuhi sebuah sungai
di pedalaman Papua tersebut. ''Gairah keimanan tumbuh di mana-mana,'' ujarnya.
Kini, lanjutnya, setiap anak-anak muda pedalaman Papua haus belajar Alquran. ''Yang mereka butuhkan bukan sembako dari kaum muslimin tetapi Alquran. Mereka selalu berebutan membacaAlquran,'' ujarnya.
Bahkan saat ini data dari BWA mencatat setidaknya mereka masih perlu 55.000 Alquran lagi. ''Marilah kita ikut menyumbangkan Alquran untuk mereka dan juga dana untuk dai untuk berangkat mengajar ke sana,'' ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, saat ini kaum muslimin yang berminat dapat menyumbangkan dana Rp100.000 untuk satu kitab Alquran dan itu sudah termasuk dana dai yang berangkat mengajar ke Papua.
Sementara itu, Hary Mukti menambahkan bahwa jika kaum muslimin bangun dari tidurnya tidak pernah memikirkan kemaslahatan saudara-saudaranya yang kurang beruntung maka bukan dari golongan Rasulullah (Al Hadist). Hary mengatakan bahwa dakwah adalah perbuatan dan pengorbanan. Dakwah bukan gerak lidah tanpa makna tetapi gerak hati yang siap berkorban.***