Inilah kondisi rumah di desa Melebung yang sudah terancam abrasi. Penghuninya terpaksa pindah agak ke darat dengan membuat rumah seadanya. Yang penting bisa untuk berteduh dari hujan dan panas.
Bersama Aya, anaknya Evi yang sudah biasa ikut orangtuanya berpetualang.
Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.
Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.
Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.
Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.
Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.
Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.
Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.
Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.
Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.
Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.
Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.
Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.
Sekitar satu jam perjalanan barulah kami sampai ke desa Melebung. Penduduknya masih bisa dihitung sekitar 30 KK. Desa ini baru sebulanan menikmati terangnya listrik. Letaknya yang jauh di pinggir kota belum bisa dijangkau PLN. Karenanya, Pemkot Pekanbaru menghibahkan sebuah genset untuk warga Melebung. Dengan genset tersebut, warga sudah bisa menikmati terangnya malam. Selama ini kampung ini gelap gulita. Hanya satu dua buah rumah saja yang terang karena memiliki genset sendiri.
''Ya, syukurlah.Kampung kami sudah tak gulita lagi. Kami pun sudah bisa menonton TV,'' aku seorang warga, bernama Niar.
Hanya saja, kata Niar, listrik hanya bisa mereka nikmati selama enam jam. Yakni, dari jam enam sore sampai jam 12 tengah malam. Begitulah kondisinya. Dengan penerangan beberapa titik dan sebuah TV, Niar harus merogoh uang dari sakunya sekitar Rp60 ribu setiap bulan. Uang itu demi kelancaran operasional genset. Sebab, Pemko hanya menghibahkan mesinnya saja. Soal pengelolaan dan biar terus survive, warga sendirilah yang memenejnya.
Pemandangan yang mengenaskan di desa ini, abrasi yang terus menggerus rumah warga. Entah sudah berapa rumah atau berapa meter daratan desa ini habis. Rumah ambruk atau hanyut dibawa arus. Akibatnya, terpaksa warga pindah agak ke darat. Sebenarnya perpindahan itu pun tinggal menunggu waktu saja. Begitulah dahsyatnya abrasi yang bukan hanya menenggelamkan sebuah perkampungan, bahkan bisa melenyapkan sebuah pulau.