Kok, Tambah rePot (KTP), Sih!
PERSOALAN KTP seperti tak habis-habisnya dibahas. Ada saja sisi
menarik tentang masalah identitas diri ini untuk diulas. Mulai
dari pengurusannya memakan waktu yang lawas, sampai pada syarat-
syaratnya yang membuat perut mulas. Kalaulah tak wajib dimiliki
seseorang, tentulah mengurusnya menjadi malas, sebab, tak sedikit
tenaga terkuras.
Itu memang benar. Jika tidak, tak kan ada nada sumbang
yang datang. Atau jika lempang, tentunya riak kecil takkan jadi
gelombang. Apalagi sekarang, ada saja kebijakan baru yang justru
bikin bimbang.
Bagaimana tidak? Sebelum akte kelahiran menjadi salah satu
syarat, mengurusnya saja sudah susah. Apa lagi sekarang harus
disertai akte kelahiran. Lha, bagi yang tak punya akte, terutama
bagi yang sudah dewasa, haruskah mengurus akte dulu? Kalau iya,
syaratnya juga harus ada KTP. Bagaimana bisa mengurus salah
satunya jika yang satu itu juga belum ada?
Kebijakan baru lainnya, pengurusan tidak dipusatkan di
kecamatan. Sekarang sudah berpindah ke Disdukcapil. Entah apa
tujuannya. Katanya biar lebih efektif dan efisien. Nyatanya di
lapangan, nggak, tuh! Rasanya tambah rumit dan berbelit. Ditambah
lagi harus melampirkan golongan darah yang dikeluarkan dari
Puskesmas. Ccckk! cckk! Semalaman tak kan cukup waktu untuk bual-
bual soal ini.
Ternyata, kerepotan itu tidak hanya dirasakan warga saja.
Aparat camat pun mengakui kalau kerja sekarang lebih repot. Tapi
kata aparat, peraturan baru itu tak masalah. Enjoy aja lagi. Sama
sekali tidak mengambil tugas camat. Ya, namanya juga aparat,
harus tunduk pada peraturan.
Apapun alasannya, setiap kebijakan baru mampu mengundang
berbagai interpretasi. Ada yang menganggap Disdukcapil tak punya
pekerjaan, sehingga mencari-cari kesibukan dengan mengambil alih
tugas kecamatan. Ada lagi rumor lain, njelimetnya urusan sekar
ang karena aparat selama ini tak bekerja alias banyak nganggurn
ya. Makanya dibuat peraturan baru, biar lebih sibuk dan terkesan
banyak kerjaan. Bukankah gaji PNS terus saja merangkak naik?
Ada-ada saja anggapan yang berkembang. Semakin banyak bincang
makin pincang arah pikiran. Apalagi disadur dari pikiran banyak
orang, yang lebih banyak keluh dari pada senang. Apapun tu
juannya, warga cuma berharap, mudahkan urusan mereka, berikan hak
mereka dan dengan senang hati akan menunaikan kewajiban sebagai
warga negara.
Mengingat sekarang harus diurus Disdukcapil, mau tak mau
warga harus pula ke pusat kota. Dengan demikian calo makin berke
liaran, karena warga yang jauh cenderung ogah ke sana. Lebih baik
minta diurus orang lain yang hasilnya mungkin bisa lebih cepat,
daripada urus sendiri yang memakan waktu. Untuk ke kecamatan saja
rasanya enggan, konon lagi harus ke Kantor Walikota. Kalau semua
warga tertuju ke satu pintu, tentu akan terjadi adu waktu. Walau
katanya di kantor terpadu akan dibagi per kecamatan.
Bagi yang punya fulus, lebih baik mengandalkan tukang urus
(calo) biar mulus. Tapi,bagi yang tidak punya fulus? Harus men
yiapkan semua syarat dan tunggu beberapa waktu. Eit, itu dulu!
Katanya sistem yang sekarang tak kenal lagi dengan fulus liar.
Apa benar? Mudah-mudahan saja begitu.
Maaf-maaf cakap, ya, dulu seperti itu. Malah ada wacana untuk
mengurus sesuai waktu yang dimau. Kalau sehari, sekian rupiah.
Dua hari, tiga hari, seminggu, nilainya mendekati standar. Sean
dainya jadi, sudah pasti yang punya fulus akan senang.
Tapi wacana itu ditentang. Tak jadi. Yang jadi, tu, malah
lebih mengejutkan. Ya, macam sekarang ini. Persyaratan makin
bertambah. Yang menekennya pun sudah berubah. Jangan-jangan
setelah dikaji balik, peraturanya masih mentah. Terpaksa digodok
lagi oleh yang baru. Weleh-weleh...Kok, Tambah rePot (KTP), sih!!
nurizah-johan@riaupos.co.id
Uus & Keluarga
9 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
selamat berkomentar