Tak mau ketinggalan momen saat mewawancarai tukang ojek perahu. Usai wawancara di atas perahu, aku minta difoto juga.
Farida tersenyum saat kameraku membidiknya yang sedang mengayuh perahu (di bawah).
Untuk kepentingan sebuah organisasi keagamaan BKMT yang ingin menerbitkan buku Opini 100 Perempuan Riau, yang akan diluncurkan Januari 2009 mendatang, aku diminta mewawancarai perempuan-perempuan marjinal yang harus berjuang hidup agar tetap survive, seperti tukang ojek perahu, penyapu jalan, pebersih gorong-gorong kota, loper koran, tukang parkir, Pembantu Rumah Tangga, Tukang pijat, pemulung dan sebagainya. Untuk mewawancarai mereka-mereka ini tidak sedikit energi yang ku keluarkan.
Misalnya ketika meminta waktu seorang pengojek perahu.Farida, ibu lima orang anak ini, sehari-harinya bekerja sebagai tukang ojek perahu di sungai Siak. Walau sudah ada jembatan, namun warga yang tak memiliki kendaraan lebih memilih naik perahu ke seberang, ketimbang melalui jembatan. Lebih cepat memang. Apalagi kondisi jembatan sudah padat oleh kendaraan yang berseliweran, walau jalan khusus untuk pejalan kaki juga disediakan.
Waktu aku ingin bertemu dengannya, Farida sedang berada di seberang. Untuk memanggilnya ke seberang tempatku, harus ada yang membantu. Untung temannya mau meneriaki sambil melambaikan tangan meminta Farida segera datang ke tempatku. Mungkin berharap ada penumpang, Farida segera ke seberang tempatku. Setelah mengetahui aku mau mewawancarainya, Farida menjawab ketus, terkesan putus asa.
''Wawancara-wawancara terus, tapi tak pernah mendapat bantuan,'' kata Farida.
Jawaban itu bukannya membuat nyaliku ciut, tapi justru aku penasaran, mengapa dia sampai berbicara seperti itu. Tentu ada alasan kekecewaannya itu dilimpahkan kepadaku. Lalu aku naik perahunya dan membuka pembicaraan yang sekiranya bisa membuat farida tidak terganggu. ALhamdulillah, walau awal sambutannya kurang menyenangkan, ternyata farida cukup ramah. Farida kecewa karena sudah banyak dia diliput media, baik cetak maupun elektronik, tetapi tak ada yang peduli akan nasibnya. Suaminya hanya sebagai buruh bangunan yang kadang dapat job kadang tidak. Makan sehari-hari sangat tergantung dengan hasil ojek sampan. Sementara mereka memiliki lima orang anak. Diantara kelima anaknya itu, hanya satu saja yang sekolah kelas dua SD, yaitu anak yang keempat. Si bungsu masih berumur dua tahun. Anak ke satu, kedua dan ketiga, terpaksa tak sekolah. Bahkan anak ketiganya terpaksa putus sekolah karena tak ada biaya. Padahal baru beberapa bulan mengenyam pendidikan di SMP swasta.
Makanya Farida berharap, ada yang membantu pendidikan anak-anaknya. Kalau untuk makan saja, dirinya mengaku sanggup. Cerita Farida ini memang membuatku miris, terenyuh. Hari gini masih banyak anak usia sekolah yang tak sekolah karena biaya? farida aku sarankan untuk mengadu ke wakil rakyat. Biasanya cukup ampuh. Ada saja nanti orang mampu yang mau menyekolahkan anaknya. Tapi farida tak mau. AKu pun bertekad akan menyampaikan nasib Farida ini ke organisasi BKMT. Mudah-mudahan BKMT mau menjadi orangtua asuh bagi anak-anak farida.
Lanjut terus blog cantik seperti yang punya... sebelum kesampaian ke Riau, bisa menikmati sedapnya kota hangat dengan penghuninya yang hangat-hangat... Sering lho aku intip...salam dan cinta dari kami berempat buat tante Nuri and sweet family.Yunich
BalasHapus