Tahun Baru Semangat Baru. Slogan ini sepertinya sudah menjadi tradisi setiap lembaga, perusahaan, instansi bahkan setiap orang. Pergatian tahun juga dihiasi dengan mutasi-mutasi baik perusahaan swasta maupun pemerintahan. Tak terkecuali Riau Pos. Tahun Baru berarti ada perubahan manajemen, struktur dan terutama pemasukan, walau kenaikannya terkadang tidak signifikan.
Tepat Kamis sore, di akhir tahun 2009, jajaran redaksi rapat akhir tahun membahas perubahan tersebut. Promosi, mutasi dan rolling tugas itu sangat biasa di perusahaan kami. Tiga tahun belakangan 2007-2009, tugas saya berkutat dengan deadline dan berkaitan dengan koran. Mulai ditugaskan jadi Redpel Prootonomi beberapa bulan, kemudian dipercayakan memegang Metropolis, Terbitan Ahad dan kembali lagi ke Metropolis.Tapi tahun 2010 mulai terbitan 1 Januari, saya berpindah dari redpel Metropolis ke desk daerah, menangani berita-berita dari berbagai daerah kabupaten yang ada di Provinsi Riau. Secara fungsional, agak ringan. Saya cukup senang menerima perubahan ini, biar tak terasa monoton dengan tugas itu ke itu saja.
Dalam foto ini kami tos bersama usai mengumumkan perubahan tersebut yang dipimpin lngsung CEO Riau Pos Grup,Pimpinan Umum, pimpinan perusahaan, pemred serta jajaran redaksi. Mudah-mudahan pencapaian 2010 lebih meningkat lagi. Itulah harapan kami bersama. Amin..
Kamis, Desember 31, 2009
Rolling jabatan
Selasa, Desember 29, 2009
Di-PHK Mamnoor
Tiba-tiba saja Mamnoor berlari sambil menangis keluar rumah mendapatkanku.
''Mama, mama..putus!''
Tentu saja aku heran, apanya yang putus.
''Putus apanya, Nu?'' Tanyaku
''Putus, putus!'' Jawab Mamnoor sambil terus nangis.
''Putus hubungan, ya??'' Candaku di sela tangisnya sambil tertawa.
''Iya.'' Jawab Mamnoor. Kontan saja jawaban Mamnoor membuatku dan beberapa orang yang mendengarnya tertawa.
''Wah..payah, mama di PHK Nu, nih!'' Candaku lagi.
Mamnoor heran juga memandangiku dan beberapa orang yang mentertawakannya. Sambil terus menangis, Mamnoor mengajakku masuk rumah. Sampai di rumah Mamnoor menunjukkan sesuatu barang yang sudah pecah berkeping-keping, yang ternyata barang itu sebuah bingkai kecil, cenderamata dari walimahan tetangga.
''O..jadi ini yang Nu bilang putus?'' Tanyaku.
''Iya.....''
''Sayang....kalau begini ini namanya pecah, bukan putus,'' jelasku sambil menahan tawa.***
Rabu, Desember 02, 2009
Semarak Pers 2009
Semarak Pers 2009 lokasinya masih sama dengan Semarak Pers 2008, di Taman Hotel Aryaduta. Sayangnya kali ini tak berhasil mendapatkan doorprize yang semakin Ok punya. Tapi tak apa-apa, tetap juga mendapat hadiah. Kalau semua tak membawa pulang hadiah, bukan even Chevron namanya. Sebab, apapun bentuknya, walau murah meriah, semua peserta tetap mendapat cendramata. Apalagi sekarang sistemnya di bagi perkelompok. jadi, menang bersama, kalah juga bersama. Kalah menang hadiah tetap ada dan lumayan berguna seperti teflon maxim dan keperluan lainnya.
Kebetulan saya bergabung dengan tim kuning bernama kelompok buaya. Saya dan tim sedang meneriakkan yel-yel yang cukup heboh. Rasanya sudah optimis kalau yel kami akan menang. Eh, sayangnya tak dinilai. Di akhir acara foto dengan teman segrup yang berhasil mendapat door prize utama sebuah laptop Acer 10 inc. ''Alhamdulillah, ini rezeki anak,'' ujar Atan sambil mengusap perut istrinya yang sedang hamil.
Minggu, November 01, 2009
Futsal Chevron 2009
Sebenarnya akhir bulan ini banyak sekali acara yang bersamaan. Acara paling awal saya ketahui even Go Green dalam rangka menyelamatkan hutan Riau khususnya di wilayah PLTA Koto Panjang. Untuk acara ini sangat menarik. Selain Go Green (penghijauan), peserta Go Green juga berkemah malam minggunya sekalian acara api unggun dengan berbagai atraksi. Kebetulan saya termasuk tim panitia.
Even kedua barulah dapat info dari teman mbelan kalau ada Rakernas. Kalau ditanya mau apa ngga ikut acara ini, tentu saja saya mau. Kebetulan saya merindukan temen2 masa remaja saya, temen2 yang sepiring bersama, sekasur bersama dan sekamar bersama. Apalagi sudah hitungan tahun tak berjumpa.
Tak lama datang lagi informasi tentang Semarak Pers yang ditaja perusahaan migas terbesar PT Chevron Pacific Indoensia didahului dengan pertandingan futsal antar media. Karena waktunya bentrok, kami tim putri Riau Pos masih ragu untuk mendaftar karena sebagian besar kami ikut panitia Go Green. Tapi karena mulainya Jumat, kami nekat ikut walau besoknya Sabtu harus ke PLTA. Ternyata hari pertama kami menang di babak penyisihan dan kami tertantang untuk lanjut pantang mundur. AKhirnya pilihan kami terus lanjut main futsal, sementara Go Green kami banyak dibantu TNI termasuk dapur umumnya. Biarlah tim TNI yang menangani dan dibantu kawan2 lain yang tak ikut futsal. Akhirnya pilihan kami tak sia-sia, dengan berhasilnya meraih juara 2. Acara puncak Semarak Pers digelar minggu depan. Saya ingat, dalam acara ini saya mendapatkan doorprize sebuah sepeda gunung Polygon seharga Rp1,2 juta. Mudah2an, dalam semarak Pers besok bisa membawa hadiah lagi, sebab (biasanya) Chevron banyak menyediakan hadiah2 yang lumayan ok. Semoga.
Rabu, Oktober 14, 2009
Ngelendot kemana-mana
Mungkin karena anak bungsu kali ya, si Mamnoor maunya ngelendot... terus. Nggak duduk, berbaring, berdiri pun Mamnoor maunya ngelendot. Pokoknya, asal ada mamanya, maunya deket..terus. Sikap Mamnoor ini memang sangat membahagiakan sih..tapi kalau ngga tentu waktu, kadang ngeras terganggu juga. Tapi untungnya dia ngerti. Misalnya, pas dia asyik-asyiknya ngelendot, saya pengen ke belakang. Walau kayaknya berat, Mamnoor mau melepaskan. Tapi jangan lama, pasti saya dicarinya. Kalau perlu ikut mendekam di kamar mandi. Begitu juga kalau lagi masak, tau-taunya sudah ada aja didekat saya. Kalau nggak nyadar, bisa berbahaya. Entah saya lagi megang sendok panas atau lagi goreng ikan yang minyaknya bisa nyembur. Bisa-bisa Mamnoor kecipratan. Untuk itu, saya lah yang harus hati-hati.
Cerita tentang si bungsuku ini memang tak ada habisnya. Biarlah menjadi kenangan dia ketika besar nanti. Kalau tidur juga maunya harus sama-sama, walau saya harus pura-pura ikut tertidur. Lucunya, Mamnoor suka genggam tangan saya kalau lagi mau tidur. Takut kali, ya..ditinggalkan. Padahal kalau ngga ada saya, Mamnoor cukup enjoy menjalani hari-harinya. Sama siapa saja dia mau apalagi kalau ada papanya. Tapi..setelah ada mamanya, semua orang tak berarti. Sebagai seorang ibu, tentunya saya sangat bahagia dengan semua ini. Ada anak yang selalu dalam dekapan, semua menjadi indah. Makanya, kalau ngga ada acara penting banget di luar, saya tak akan keluar. Untungnya jam kerja saya sore hari, jadi seharian bisa bersama keluarga, terutama si bungsuku.
Rabu, September 09, 2009
Ma..Bonus THRnya, Lho...
Tadi pagi, saat menjemput Aqilla pulang sekolah, dari jauh Qilla berlari kecil mendapatkan mamanya. Setelah mendekat, Qilla menunjukkan ibu jarinya sebagai pertanda dia memang berhasil meraih juara satu di kelasnya pada rapor bayangan.
''Tuh kan Ma, Qilla juara satu. Bonus THR-nya jangan lupa,'' kata Qilla.
Sebelumnya Qilla bakal menerima rapor bayangan Sabtu lalu. Tapi karena instruksi dari Dinas pendidikan Kota, libur Ramadannya tanggal 10 September, terpaksa penerimaan rapor ditunda sampai Rabu, 9 September 2009.
Mengetahui kakaknya Qilla bakal mendapatkan bonus, Ifa semakin rajin mengajinya. Dia ingin juga mendapatkan bonus THR dengan mengkhatamkan Quran. ''Pokoknya bonus Ifa sama dengan Kak Qilla, ya Ma???''
Lho, lho, lho...dasar anak-anak. Bisa bangkrut nih.
Chevron Bagi Takjilan
(Jajaran manajemen CPI Muhammad Syarkawi, Team Manager Government Relations, Djati Susetya, Manager Policy Government and Pablic Affairs Sumatera didampingi Pemred Riau Pos, Raja Isyam Azwar)
Menjelang buka puasa, Selasa, 8 September 2009, saat sedang asyik2nya kerja, kami redaksi Riau Pos kedatangan tamu istimewa dari manajemen PT CPI (Chevron Pacific Indonesia). Kedatangan mereka membawa takjilan es teler, teh hangat dan snack serta nasi kotak. Tentu saja kami yang biasanya berbuka di kantin belakang kantor merasa senang mendapatkan menu yang berbeda. Apalagi yang hadir sedikit, sementara makanan yang dibawa cukup banyak. Bisa nambah deh. Tapi yang namanya puasa, kalau udah buka, minum dikit aja rasanya kenyang banget....
Oya, dalam satu minggu saya dan kawan-kawan harian khususnya tim Metropolis hanya sekali bisa berbuka di rumah, hari Sabtu saja. Selebihnya, dari Minggu sampai Jumat, buka puasanya di kantor di kantin belakang. Kami diberi bajet hanya Rp12.500 per orang. Kalau lebih, ya bayar sendiri kelebihan tersebut.
Kalau tahun lalu, kebetulan pas Ramadan saya memegang terbitan Minggu. Setiap hari bisa buka puasa di rumah kecuali hari Sabtu. Tapi walau begitu, saya tetap bisa mempersiapkan tajilan dan makanan untuk di rumah. sebab saya berangkatnya dari rumah jam tiga sore. Kalau saya tak rapat, biasanya berangkat dari rumah jam lima sore. Karena saya memegang Metropolis, yang deadlinenya paling cepat dari koran lainnya, jadinya jam kerja saya sore (biasanya dimulai dari jam lima atau lebih) sampai jam delapan malam. Benar-benar ngejar deadline, berpacu dengan waktu. Tapi semua itu tak ada masalah. Untungnya teamwork kita bagus.
Anak-anak juga alhamdulillah, nggak ada masalah. Papanya juga. Apalagi papanya tahun ini jarang juga buka di rumah, karena hampir setiap malam safari Ramadan ke jajaran kepolisian. MUlai dari polda, Poltabes sampai ke polsek-polsek yang ada di Pekanbaru dan di luar kota.
Selasa, September 08, 2009
Ketika Dakwah Santun Menembus Rimba Papua
Kunjungan Ustad M Zaaf Fadzlan Rabbany Al Garamatan ke Redaksi Riau Pos, Senin 7 September 2009
Suatu siang menjelang petang. Lelaki muda mengenakan sorban itu berjalan memasuki sebuah kampung pedalaman di Papua. Beberapa orang mengikutinya. Langkah mereka terhenti di perbatasan kampung tersebut. Sang kepala suku kampung itu telah mengetahui bakal kedatangan tamu dari kota itu menyambutnya dengan posisi panah siap tembak.
Wajah anggota rombongan lelaki itu menjadi tegang. Namun tidak dengan lelaki yang memimpin rombongan. Ia tetap tenang. Senyum tak lepas dari bibirnya. Ketegangan makin memuncak karena sang lelaki itu tetap tidak mau berbalik arah seperti perintah kepala suku. Kesabaran kepala suku pun habis sudah. Swiingg.., panah beracun itu pun meleset dan menancap di lengan kanan lelaki muda itu yang coba menangkis. Ia mencabutnya darah pun mengucur.
Swiing.., panah kedua pun melesak menancap lengan kirinya. Ia
terjatuh dengan darah mengalir deras dari kedua lengannya.
Sang kepala suku seakan tak percaya karena lelaki muda itu berdiri sembari mencabut anak panah di lengan kirinya. Dengan langkah pasti tanpa senjata lelaki muda melangkah mendekati sang kepala suku. Setelah dekat ia mengulurkan tangannya. ''Terimakasih bapak telah menyambut kami di perbatasan kampung. Jika memang tidak diizinkan masuk kami permisi untuk kembali.'' Sang kepala suku terpana menyaksikan sikap santun anak muda
yang bersimbah darah di lengannya itu. Tatkala si pemuda berbalik
arah dan mengajak rombonganya balik ke kota, sang kepala suku tak
kuasa menahan tangis dan memekik memanggilnya. ''Anak, kemari
anak maafkan perlakuan saya silakan masuk ke kampung kami,''
ujarnya.
Lelaki muda itu berbalik seraya berkata, ''Tidak apa-apa bapak, saya menghormati perintah bapak untuk tidak masuk kampung, kami akan tetap kembali,'' ujarnya lagi.
Seolah ingin menebus rasa bersalahnya sang kepala suku menawarkan untuk mengantarkan si anak muda itu hingga ke kota. Maka diantarlah anak muda itu hingga ke kota.
Lelaki muda itu berkunjung ke redaksi Riau Pos. Ya, dialah Al Ustadz M Zaaf Fadlan Rabbany Al Garamatan yang memaparkan pengalamannya itu. Ia hadir bersama rekannya yang mantan artis Ustad M Khoir Hary Moekti yang bintang tamu di acara Roadshow Spesial
Ramadan Dakwah Papua di Kota Pekanbaru yang ditaja oleh Badan Waqaf Alquran.
Ganasnya rimba pedalaman Papua tak membuatnya gentar. Darah asli Papua yang mengalir di dirinya membuat ia paham ganasnya medan. Ia juga paham mengapa anak negerinya tak kunjung bangkit dari kebodohan setelah 64 tahun republik ini merdeka.
''Islamlah agama yang memanusiakan manusia yang belum manusia atau dikondisikan menjadi belum manusia,'' ujarnya memulai perbincangan.
Dari penjelajahannya ke pedalaman Papua ia menemukan betapa ada orang-orang yang mengkondisikan agar warga pribumi tetap bodoh dan terbelakang. Bahkan ada yang menyusui
anaknya dan juga menyusui babi peliharaannya. Anak-anak muda yang berpotensi maju dicecoki minuman keras dan hiburan yang memabukkan agar tak terbuka akal pikirannya oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. Ada yang ingin anak Papua tetap bodoh agar bisa dikuras kekayaan alamnya.
Berbekal ketulusan Fadzlan dan 19 orang rekannya menembus rimba pedalam Papua. Tidur di alam terbuka dan di rumah-rumah penduduk yang disinggahi. Berbincang dengan mereka dan mengajarkan kehidupan yang lebih baik. ''Pertama-tama kami mengajar mereka membersihkan tubuh dengan mandi di sungai dengan sabun,'' ujarnya. Berbagai pengalaman unik dan lucu mereka temui. Mulai dari kepala suku yang baru mengenal shampoo dan tidak mau membi
lasnya karena khawatir kehilangan bau harumnya.
Selama ini mereka diajarkan oleh orang-orang tertentu untuk takut mandi dan melumuri tubuh dengan minyak babi agar tak digigit nyamuk. Ustad Fadzlan datang lalu mengubah mindset itu dan mengatakan justru dengan bersih tubuh menjadi lebih sehat. Ketulusan yang lahir dari lubuk hati membuat orang-orang yang semula animisme itu melihat Fadzlan sebagai orang yang ingin mengubah mereka ke arah yang lebih baik. Fadzlan dan kawan-kawan menga
jarkan mandi bersih itu dengan tidak lelah. Mereka hanya istirahat untuk salat dan makan. Hingga di kalangan rekan-rekannya Fadzlan sempat diledek sebagai ustad "sabun".
Semua itu memancing ingin tahu para kepala-kepala suku tentang salat yang ia dan rekan-rekannya kerjakan. Dialog dari hati ke hati pun mengalir apa adanya. ''Islam tidak memaksakan keyakinan pada orang lain karena sudah jelas dan terang beda antara kebenaran dengan kesesatan,'' ujarnya lagi. Dengan santun Fadzlan berdialog menjelaskan ibadah yang mereka lakukan, apa maknanya dan manfaatnya bagi kehidupan jasmani dan rohani.
''Tugas Islam mencerahkan peradaban dan mencerdaskan setiap orang yang rindu pada kebenaran,'' ujarnya.
Perlahan tapi pasti hidayah menyapa hati kaum pedalaman itu. Ratusan kepala suku masuk Islam yang diikuti oleh belasan ribuan warga sukunya. Hingga untuk mata pelajaran berwuduk yang dibimbing Fadzlan diikuti oleh ribuan orang yang memenuhi sebuah sungai
di pedalaman Papua tersebut. ''Gairah keimanan tumbuh di mana-mana,'' ujarnya.
Kini, lanjutnya, setiap anak-anak muda pedalaman Papua haus belajar Alquran. ''Yang mereka butuhkan bukan sembako dari kaum muslimin tetapi Alquran. Mereka selalu berebutan membacaAlquran,'' ujarnya.
Bahkan saat ini data dari BWA mencatat setidaknya mereka masih perlu 55.000 Alquran lagi. ''Marilah kita ikut menyumbangkan Alquran untuk mereka dan juga dana untuk dai untuk berangkat mengajar ke sana,'' ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, saat ini kaum muslimin yang berminat dapat menyumbangkan dana Rp100.000 untuk satu kitab Alquran dan itu sudah termasuk dana dai yang berangkat mengajar ke Papua.
Sementara itu, Hary Mukti menambahkan bahwa jika kaum muslimin bangun dari tidurnya tidak pernah memikirkan kemaslahatan saudara-saudaranya yang kurang beruntung maka bukan dari golongan Rasulullah (Al Hadist). Hary mengatakan bahwa dakwah adalah perbuatan dan pengorbanan. Dakwah bukan gerak lidah tanpa makna tetapi gerak hati yang siap berkorban.***
Jumat, September 04, 2009
Berburu Bonus THR
Mama : "Kok PD abis ya. Oke deh. Tapi juara 1 aja ya..."
Qilla: "Nggaklah Ma. Tiga besar pokoknya."
Mama : "Ya deh. Tapi bonusnya beda ya. Sesuai tingkat juaranya."
Qilla setuju dengan perjanjian ini. Juara satu sekian, dua sekian dan tiga sekian. Tapi mamanya penasaran, kok bisa-bisanya si kakak ini percaya diri banget kalau dapat juara. Awalnya saat ditanya Qillanya senyum2 aja. Tapi mama terus mendesak. Pasti Qilla punya alasan kenapa bisa se-PD itu.
Akhirnya Qilla cerita juga, kalau pas ulangan, mid, dia nomor satu. Makanya dia PD abis kalau di rapor bayangan nanti bakal dapat juara, walau nggak berharap banget juara satu.
Sebelumnya, awal-awal Ramadan, semua anak-anak kecuali Mamnoor, sudah ngomongin bonus THR. Bukannya ngomongin THR lagi. Kalau THR-nya sih memang sudah wajib. Bonusnya ini lho..yang lagi diburu. Gimana caranya ya, berburu THR itu. E...nggak tahunya cara berburu THR ala anak-anak dengan rajin tadarus ke mesjid. Kalau yang ini mamanya nggak mau kasi bonus. Dengan bercanda mamanya mengatakan selain mengaji, tadarus ke mesjid itu juga mengejar makanan. Soalnya pas istirahat tadarus, biasanya banyak makanan yang datang dari kanan kiri mesjid. Lucunya, anak-anak nggak menampik alasan itu, malah saling melempar senyum.
Dalam hati, syukur anak-anak nggak mendesak. Tapi, anak-anak akan tetap diberikan bonus kalau bisa khatam Quran selama Ramadan. Tentunya di luar tadarusan di mesjid dong..alias mengaji di rumah. Bonusnya agak besar, hampir sama dengan THR. Ternyata, anak-anak setuju. Semangat 45 malah.
Karena ingin mendapatkan bonus, minggu-minggu pertama anak-anak terutama Ifa, sangat rajin mengaji. Habis subuh, zuhur, mereka rajin baca Quran. Pada hari ke lima, saat ditanya sudah sejauh mana mengajinya, Qilla baru juz 5. Berarti satu hari satu juz. Kalau Ifa sudah juz 8. Kelihatannya Ifa lebih ngebut nih. ''Di sekolah Ifa juga sempatkan ngaji, kok.'' kata Ifa. Weleh,weleh...bisa dobel nih bonusnya.
Ternyata, o ternyata, memasuki hari ke delapan sampai sekarang semangat mengajinya mulai kendor. Sudah nggak sesering awal Ramadan. Habis subuh pada langsung tidur sampai jam berangkat sekolah. Habis zuhur kadang ngaji kadang nggak. Sepertinya mereka nggak sanggup mengejar target.
Kamis, Agustus 13, 2009
Balada Pohon Ceri
Jarak musalla dengan rumah hanya beberapa meter saja. Karena jarak yang dekat itulah saat status musala berubah menjadi masjid, kami harus berpartisipasi. Kalau partisipasi goro, sudahlah, tak usah dipertanyakan. Itu pasti. Wajib hukumnya.
Kebetulan salah satu syarat perubahan status musala jadi masjid harus ada akses jalan. Nah ini yang menjadi kendala. Arah kanan kiri masjid sudah ada jalan. Giliran depan belum ada. Adapun jalan hanya jalan setapak milik kami (orangtuaku). Itu pun hanya beberapa meter saja. Sementara yang di depan rumah kami, merupakan rumah kosong. Si empunya merupakan seorang anggota DPRD Pekanbaru dan berhasil lagi menjadi wakil rakyat pemilihan kemaren. Sayangnya, suara anggota dewan tersebut bisa dihitung di TPS kami. Jadinya, susah juga kalau minta jalan. Tapi, ya, seorang yang berjiwa besar, kan, nggak mesti mengaitkan itu semua. Itu picik namanya alias nggak berjiwa lapang. Apalagi ini tabungan akhirat, amal jariyah yang nggak akan putus. Partainya lambang Ka'bah lagi. Wah..terlalu kalau nggak mau ngasi jalan untuk kepentingan bersama.
Nah, mungkin pertimbangan amal (mudah2an begitu), anggota dewan ini mau menyumbangkan tanahnya selebar satu meter untuk jalan setapak. Syaratnya, kami juga harus menambah jalan tersebut selebar 60 cm. Tak diminta pun selama ini depan rumah kami juga sudah dibuat jalan. Tapi karena itu syarat darinya dan dia akan membatalkan kalau kami tak mau, jelas saja syarat tersebut kami setujui. Cukup kami sebagai wakil keluarga yang mengiyakan itu. Setelah itu orangtua juga tak bermasalah.
Selama ini di depan rumah kami berdiri pohon ceri. Buahnya dinikmati banyak orang, sebab siapa saja boleh mengambilnya. Apalagi anak-anak. Hampir setiap hari manjat dan bermain di pohon ceri tersebut. Yang lebih utama, pohon tersebut mampu mencegah pemanasan global. Paling tidak penghijauan lah. Juga, dengan adanya pohon itu bisa menyaring partikel debu, dan...yang paling penting kayaknya, untuk pelindung. Pohon ceri ini cukup menyejukkan. Kalau nongkrong di depan rumah, sangat nyaman. Apalagi sekarang musim kemarau, keberadaan pohon ini sangat membantu mengurangi efek panas.
Lho.....tapi kok ya disuruh tebang. Sayang banget. Kontan aja kami menolak. Tujuan utama jalan tersebut kan untuk jalan setapak dan untuk kendaraan roda dua. Kalau hanya untuk itu, sangat tidak mengganggu. Malah membantu yang lewat. Kalau memang dilewati roda empat, kami keberatan. Sangat sangat mengganggu. Anak-anak banyak, dan pasti debu langsung masuk rumah.
Rabu, Agustus 05, 2009
Jalan ke PLTA
Emakku sempat tertidur ketika sampai di balai-balai pinggir jalan PLTA.
Mamnoor yang ikut menikmati keindahan PLTA
Debit air yang berkurang masih bisa dilihat dari atas tebing. Sebelumnya, kawasan danau tersebut merupakan perkampungan penduduk.
(Maktuo, Julia, Nuha dan Silmi sedang nyantai di balai-balai yang ada di pinggir jalan PLTA Kotopanjang)
Weekend kemaren, Sabtu (1/8/2009), saya+Mamnoor, emak, maktuo, Julia+suami (mawardi)+2 anak (nuha dan silmi) ingin jenguk adik yang tinggal di Bangkinang, kabupaten Kampar. Jarak Pekanbaru ke Bangkinang hanya memakan waktu 2 jaman (kondisi nyantai). Kata emak, kangen dengan Hakim dan keluarga. Apalagi besan (mertua Hakim) dari Lampung kebetulan ada. Keinginan itu makin membuncah di hati emak khususnya. Ya...saya jembatanilah keinginan emak itu dengan melobi adik ipar yang kelihatannya off hari Sabtu tersebut. Gayung bersambut. Kami pun sepakat berangkat. Sebelumnya saya menghubungi Hakim di Bangkinang. Nggak nyambung-nyambung. Saya ulang-ulang. Begitu juga sedang di luar jangkauan. Saya bosan dan tak lagi calling Hakim sampai mau berangkat sekitar pukul setengah sebelas pagi.
Setelah agak satu jam perjalanan, saat kami sampai di Pasar Kampar, HP saya berdering. ternyata dari Hakim. E..ngak tahunya dia sudah nyampe di Pekanbaru bersama mertua, istri dan anaknya. Kami yang sudah kadung separo jalan, nekat melanjutkan perjalanan. Tujuan jadi berubah. Dari silaturahmi menjadi jalan-jalan. Soalnya jarang-jarang punya kesempatan ke luar kota karena keterbatasan waktu dan urusan masing-masing. Hakim ngerti dan kami pun lanjut menuju kawasan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air).
Di kawasan ini pemandangannya cukup menarik. Tenaga air
yang digunakan untuk pembangkit bukan saja dari air sungai Kampar yang sudah ada dari sononya. Tetapi ratusan perkampungan masyarakat yang terdiri dari ribuan KK ditenggelamkan. Dibuatlah danau yang cukup luas untuk tenaga listrik yang saat ini sangat memprihatinkan tersebut. Ribuan warga dibuatkan perkampungan baru di area perbukitan. Kebetulan kondisi geografis Kampar terdiri dari bukit dan lembah. Di sini tak ada gunung. Yang ada hanya bukit termasuk bukit barisan yang sambung menyambung di sepanjang pulau Sumatera.
Kenapa kami memilih PLTA? Kami penasaran dengan kondisi listrik yang byar-pet beberapa bulan terakhir ini. Pokoknya bukan seperti minum obat lagi. Lebih dari itu. Sebentar hidup, sebentar mati. Kadang matinya yang malah lama. Tak sedikit warga marah dan sumpah serapah terhadap
perusahaan penerang ini tak bisa terelakkan. Alat elektronik banyak yang rusak dan tagihan
bukannya menurun tapi malah melonjak. Siapa yang nggak sewot kalau begini???
Rabu, Juli 29, 2009
Kunjungi Melebung
Inilah kondisi rumah di desa Melebung yang sudah terancam abrasi. Penghuninya terpaksa pindah agak ke darat dengan membuat rumah seadanya. Yang penting bisa untuk berteduh dari hujan dan panas.
Bersama Aya, anaknya Evi yang sudah biasa ikut orangtuanya berpetualang.
Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.
Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.
Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.
Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.
Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.
Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.
Sahabat saya, Kepala Biro ANTARA Pekanbaru, Evi R syamsir, beberapa waktu lalu Kamis (17/7/2009), tiba-tiba saja mengajak saya pergi ke sebuah desa pinggiran di Kota Pekanbaru. Namanya Desa Melebung. Ajakan tersebut saya sambut dengan senang hati. Saya ingin tahu, seperti apa kondisi desa kenangan yang terisolir itu sekarang. Terlalu banyak kenangan masa kecil saya disana.
Tahun 70-an, desa ini masih didiami keluarga besar saya sebelah ibu. Saya yang masih kecil, selalu dibawa Maktuo ke desa ini. Kedua orangtua tinggal di pusat Kota Pekanbaru sebagai pedagang. Profesi mereka itu tak memungkinkan mereka mengajak saya atau adik-adik jalan-jalan ke kampung. Untung ada Maktuo (kakak kandung ibu) yang suka mengajak saya ke kampung asal ibu saya itu.
Dulu, kalau dari Pekanbaru ke Melebung tak bisa dilewati jalan darat. Untuk mencapai ke desa ini, hanya bisa dilalui jalur sungai. Saya sangat senang setiap kali diajak ke desa ini. Saya bisa naik perahu, melihat pemandangan kiri kanan sungai yang masih dihuni hutan lebat. Sesekali berpapasan dengan kapal besar dari dalam dan luar negeri. Sedangkan gelombang yang diciptakan kapal tersebut membuat perahu kami bergoyang ke kiri ke kanan dan terombang ambing selama riaknya masih ada. Anehnya, situasi demikian membuat saya sangat bersuka cita. Bukannya takut kalau-kalau perahu oleng atau lebih parahnya tenggelam. Sesampai di desa ini, saya bisa main di hutan, menikmati buah hutan dan memanjat pohon rambai, pohon mangga, manggis dan memanjat pohon jambu bol yang tumbuh di sekitar rumah. Terlebih lagi saya bisa memancing di sungai yang jaraknya cuma beberapa meter di depan rumah atuk (nenek). Pokoknya asyik...banget. Walau cuma kampung, penduduknya cukup ramai dibandingkan sekarang ini.
Saya dijemput Evi ke rumah. Disetiri suaminya. Kata Evi, mumpung ada yang nyupiri . Sebab, besok sang suami harus mandah lagi ke luar kota. Sekarang ini, jalan menuju Melebung bisa ditempuh jalur darat. Ada dua jalan. Satunya harus menempuh jalan arah Kerinci, Pelalawan kemudian belok ke simpang Beringin, satunya lagi melewati Jalan Badak. Kalau jalan yang arah Kerinci itu saya sudah pernah menempuhnya. Jarak tempuhnya cukup jauh. Sepertinya Melebung itu bukan termasuk wilayah Kota Pekanbaru. Sedangkan Jalan Badak, saya belum pernah melaluinya. Katanya lebih dekat. Hanya saja jalannya agak jelek. Untung masih musim kemarau, sehingga Jalan Badak bisa ditempuh dengan mulus.
Kendati Evi belum pernah menempuh Melebung, tapi dia pernah mengunjungi sekolah marjinal yang lokasinya ke arah Melebung dan hanya bisa dicapai melewati Jalan Badak ini. Berbekal pengalaman Evi, kami pun melaju. Saya yang tak pernah ke Melebung melewati jalan Badak ini, serasa mendapat pengalaman baru.
Memasuki Jalan Badak, puluhan pabrik bata terhampar di kanan kiri jalan. Akibatnya tanah perbukitan sudah banyak terkikis sebagai bahan batu bata. Kondisi tanah berbukit dan berlembah semakin nyata. Tak lama, kami memasuki areal perkebunan kelapa sawit. Ternyata sekolah marjinal berada di tengah-tengah perkebunan ini. Sekolah ini sudah pindah tak jauh dari tempat semula. Tentunya dengan kondisi yang lebih permanen dibandingkan sekolah lama yang sangat mengenaskan. Sekolah panggung yang terbuat dari papan yang nyaris roboh. Atap banyak yang bocor, begitu juga dengan meja kursinya.
Sekitar satu jam perjalanan barulah kami sampai ke desa Melebung. Penduduknya masih bisa dihitung sekitar 30 KK. Desa ini baru sebulanan menikmati terangnya listrik. Letaknya yang jauh di pinggir kota belum bisa dijangkau PLN. Karenanya, Pemkot Pekanbaru menghibahkan sebuah genset untuk warga Melebung. Dengan genset tersebut, warga sudah bisa menikmati terangnya malam. Selama ini kampung ini gelap gulita. Hanya satu dua buah rumah saja yang terang karena memiliki genset sendiri.
''Ya, syukurlah.Kampung kami sudah tak gulita lagi. Kami pun sudah bisa menonton TV,'' aku seorang warga, bernama Niar.
Hanya saja, kata Niar, listrik hanya bisa mereka nikmati selama enam jam. Yakni, dari jam enam sore sampai jam 12 tengah malam. Begitulah kondisinya. Dengan penerangan beberapa titik dan sebuah TV, Niar harus merogoh uang dari sakunya sekitar Rp60 ribu setiap bulan. Uang itu demi kelancaran operasional genset. Sebab, Pemko hanya menghibahkan mesinnya saja. Soal pengelolaan dan biar terus survive, warga sendirilah yang memenejnya.
Pemandangan yang mengenaskan di desa ini, abrasi yang terus menggerus rumah warga. Entah sudah berapa rumah atau berapa meter daratan desa ini habis. Rumah ambruk atau hanyut dibawa arus. Akibatnya, terpaksa warga pindah agak ke darat. Sebenarnya perpindahan itu pun tinggal menunggu waktu saja. Begitulah dahsyatnya abrasi yang bukan hanya menenggelamkan sebuah perkampungan, bahkan bisa melenyapkan sebuah pulau.
Jumat, Juli 24, 2009
Nu, Kan Udah Besar!
(Mamnoor digendong kakak sepupunya Eza. Eza ini sudah kami rawat sejak kelas tiga SD, setelah beberapa hari ayahnya meninggal. Tahun ini Eza sudah tamat SMKN 3, jurusan tatabusana)
Tumben Mamnoor kemarin nangis sejadi-jadinya ingin ikut mamanya kerja. Biasanya nggak pernah seperti ini. Kalaupun nangis, setelah dibujuk dengan es krim atau jajanan yang disukainya, Mamnoor langsung menerima alias nggak mau maksa untuk ikut. Malah kepergian mamanya ke kantor dijadikannya senjata untuk bisa minta apa saja. Dasar si bungsu! Tahu aja kalau permintaannya itu nggak bisa ditolak. He..he...
Sebelumnya saya dapat telpon dari sekretaris redaksi di kantor, kalau pimred minta rapat seperti biasa jam tiga sore. Dalam pikiran saya, pasti rapatnya penting. Soalnya sehari sebelumnya, manajemen merapatkan kondisi perusahaan. MUngkin hasil rapat itulah yang disampaikan Pimred ke kami dalam rapat tersebut. Setengah tiga sayapun siap-siap. Mamnoor sudah tahu kalau saya siap-siap pasti mau pergi.
Mamnoor: ''Mama mau kemana?''
Mama : ''Mau ke kantor sayang?''
Mamnoor: ''Mama kerja, ya''
Mama : ''Iya''.
Mamnoor: ''Nu, ikut mama kerja, ya''
Mama : ''Nggak bisa sayang. Nu kan tahu, kalau mama kerja nggak boleh ikut?''
Mamnoor: ''E..boleh kok...!''
Mama : ''Nggak boleh lah...''
Mamnoor: ''Boleh kok ma. Nu kan udah besar''
Nah lho! Jawaban Mamnoor membuat saya geli sendiri. Berarti selama ini dia nggak boleh ikut karena dikatakan masih kecil. Padahal rasanya saya nggak pernah mengatakan ketidakbolehan dia ikut itu karena masih kecil. Atau mungkin saja pernah oleh kakak2nya, tapi kasusnya sekali-sekali. So, ketika dia mengatakan dia sudah besar, konsekuensinya dia boleh ikut. Wah..susah juga nih ngasi tahunya. Untuk menenangkannya saya coba bujuk dengan jajan. E..nggak ampuh. ''Nu nggak mau!!'' katanya. Saya bujuk dengan es krim di supermarket, dia juga ngotot nggak mau. ''Nu ikut mama!!!'' keukeuhnya.
Waduh, gimana ini. Mau nggak mau saya harus pergi. Ada rapat penting lagi. Terpaksa saya harus meninggalkan Mamnoor yang nangis sejadi-jadinya, sampai-sampai tangisnya mau ikut masih terdengar dalam jarak puluhan meter.
Saya berpikir kenapa Mamnoor seperti itu. Saya nggak percaya kalau hanya gara-gara dia merasa sudah besar, lalu dia maksa harus ikut sampai nangisnya kencang banget. Saya ingat2 lagi. O...mungkin dia ingat curhat saya ke dia. Saya iseng saja bawa dia bicara seolah2 dia sudah besar di kamar berdua sambil tiduran. Ya..sambil ingin menidurkan dia, saya bertanya ke Mamnoor.
''Nu...mama mau ambil cuti nih, kemana ya kita. Kakak dan abang sekolah. Kita jalan-jalan ya berdua. Mama dan Nu akan lebih sering bersama.'' (Mamnoornya sambil ngedot jempol sok dewasa menyimak kata-kata saya sambil menyahuti sepatah dua kata. ''Ya ata Oo..'') Nah..mungkin ini nih yang membuat dia mo ikut kemana saya pergi. Tapi malamnya setelah saya pulang kerja, saya tanyakan kepada kakak sepupu yang menjaganya bagaimana sikap Mamnoor setelah saya pergi. Katanya sih cuma sebentar. Setelah saya menghilang dari pandangannya, Mamnoor malah minta bobo. Tapi sebelumnya es krim dulu, dong....
Kamis, Juli 09, 2009
Belajar Tengkurep
Mamnoor baru pertama belajar telungkup (tengkurep). Usahanya boleh juga sambil nangis tapi berhasil , walau kepalanya belum kuat benar. Perjuangan Mamnoor sempet diabadikan. Awalnya kasihan juga melihat Mamnoor berusaha tengkurep sambil nangis gitu. Maunya dibantuin, tapi akhirnya dibiarin aja. Biar dia mencoba sendiri. Mana badannya (saat itu) cukup berisi. Wah, berat banget kelihatannya.
Minggu, Juli 05, 2009
Qilla Lulus
Apalagi melihat ekspresi orangtua, yang anaknya diterima dan yang nggak terima. Semuanya rata-rata memberi nasehat kepada anaknya, agar PSB dijadikan pelajaran untukbelajar lebih giat lagi. Semua orangtua cemas, apalagi yang memiliki nilai pas-pasan. Setiap hari harus memantau pengumuman. Jika nilai anak berada diurutan akhir atau 20 besar ke bawah, hampir semua orangtua mencabut pendaftaran dan mencari sekolah lainnya. Bahkan ada orangtua yang dua atau tiga kali mencabut formulir karena berada di urutan tidak diterima.
Alhamdulillah, Aqilla langsung diterima di satu sekolah. Itu pun bukan sekolah tujuan awal. Sebelumnya sudah masukkan formulir di MTsN.Tapi, karena syarat belum lengkap, formulir ditarik kembali dan keesokan harinya baru dimasukkan. Perjalana pulang, tiba-tiba ingin singgah di SMP 32 yang katanya sekolah binaan. Niatnya ingin meninjau saja. Entah kenapa, pas mau pulang, tiba-tiba saja nekad masukkan formulir walau sudah tutup. Biar bisa langsung diakses paginya, formulir Aqilla dititip di sekolah SMP32 Binaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Ya, tanpa direncanakan, Qilla jadi positif di SMP 32.
Setiap hari Aqilla tetap di posisi aman, 50 besar. Daya tampung sekolah binaan tersebut hanya empat lokal, sekitar 125 orang dari umum. Posisi pertama 27, kedua, 45 dan ketiga tergeser di urutan 50. Karena banyak yang tak diterima di sekolah pavorit pada mendaftarkan diri di SMP 32.
Sekarang, kekhawatiran itu selesai. Hari Senin pengumuman PSB, dilanjutkan daftar ulang. Tapi saya tetap merasa kasihan dengan merekamereka yang tak lulus di sekolah negeri, yang rata-rata nilai mereka di bawah 7,5 atau 7 ke bawah. Artinya mereka harus rela sekolah di swasta, yang notabenenya harus banyak mengeluarkan uang. Sementara sekolah swasta yang bonafit sudah lebih dulu menerima murid dengan jumlah uang belasan juta.
Sekarang, pemerintah sudah memperhatikan pendidikan dengan mengalokasikan dana APBN dan APBD yang cukup besar. Makanya, Pemerintah Kota Pekanbaru khususnya bertekad menciptakan sekolah murah berkualitas. Siapa orang tua yang tak ingin memasukkan anak-anaknya di negeri saat ini. Saya sendiri melihat itu. Sewaktu saya meninjau sekolah pavorit. Saya melihat banyak orangtua yang ''kaya'' (setahu saya) yang mendaftarkaan sekolah anaknya di sana. Para pengusaha cina, anak pejabat dan orang berduit lainnya. Sementara yang namanya negeri, baik itu pavorit ataupun nggak, tetap saja gratis.***
Rabu, Juli 01, 2009
Sorry, Ma....
Lagi sibuk-sibuknya di dapur mempersiapkan sarapan, nggak tahunya Mamnoor udah berada di dekat saya, tanpa saya ketahui. Pas mau berbalik, Mamnoor yang berada di belakang tertabrak dan nyaris jatuh. Mamnoor kaget. Saya langsung bilang, ''maaf ya Nu, mama nggak tahu Nu ada di belakang mama'', tak lupa sambil mendekapnya biar nggak nangis dan mengerti tabrakan itu bukan disengaja. Mungkin karena nggak sakit, Mamnoor malah senyum. Duh..senengnya.
Trus, Mamnoor bukannya pergi. Dia juga ikut sibuk di dapur. Hampir saja dia menyentuh piring yang di atas meja dan hampir jatuh. Saya yang melihat itu kontan saja kaget dan sedikit berteriak.
''Nu...awas, piring mau jatuh,'' teriak saya.
''Sorry ma.....'' jawab Mamnoor nyantai.
Jawaban Mamnoor yang lain dari biasanya ini, membuat saya dan kakak sepupunya yang ikut membantu di dapur tertawa menahan geli. Sekaligus kita-kita juga heran, kok bisa Mamnoor jawabnya seperti itu. Kayak orang dewasa aja. Mamnoor ikutan ketawa melihat kami menertawakannya. E..alah Mamnoor Mamnoor! Baru tiga setengah tahun, kok ngemesin banget.
*****
Cerita lain lagi soal kelucuannya Mamnoor. Sore kemarin, Selasa, kami duduk-duduk nyantai di teras rumah. Semilir angin sore membuat suasana santai kami semakin menyenangkan. Tiba-tiba saja Mamnoor minta jajan.
''Mama, beli es krim yuk!'' Mintanya merajuk.
''Sebentar lagi es krim jawa (es krim yang dijual keliling buatan sendiri tanpa merek walls atau campina) datang. Kita tunggu itu, aja ya'' Bujukku.
''Nggak, di maket aja (maksudnya super market. Biasanya Mamnoor suka banget es walls spongebob),'' jawab Mamnoor.
Kakak sepupunya Eza, yang kami pelihara sejak kelas 3 SD sekarang sudah tamat SMK, mencandai Mamnoor.
''Supermarket atau minimarket,'' kata Eza.
''Maket.'' jawab Mamnoor. Mamnoor memang belum fasih ngucapin supermarket.
''Ma....ya..es krim maket,'' rengek Mamnoor pada saya sambil lendotan.
''Supermaket atau mini market???'' ulang Eza.
''terserah kakak ajalah,'' jawab Mamnoor.
Nah, jawaban terserah kakak aja ini yang membuat kami tertawa. Sungguh nggak kami sangka Mamnoor menjawab seperti itu. Bukannya nangis dicandain, malah memberi jawaban diluar dugaan. He..he...lucu abis.
Jumat, Juni 26, 2009
Waktu Kecilku
berfoto ria distudio.
Foto culunku waktu kecil bersama tiga adikku (botak semua) Ruzi, Julia dan Ita. Yang dibangku Mak Woku itu Ita. Sedangkan yang dibelakang Mak Wo, Cik Ida, adik makku yang bungsu. Yang di tengah Kak As, anak tunggal Mak Woku, Cik Itan sepupu emak.
Keluarga Baru
Kamis, Juni 25, 2009
Ta' Gendong Kemana-mana
Lagu Mbah Surip ini benar-benar disukai Mamnoor. Baru aja keluar iklannya di TV, Mamnoor sudah menirunya dengan menyanyikan lagu itu, walau hanya bait pertamanya saja. Terus berulang-ulang. Cukup menggemaskan memang, melihat ulah Mamnoor itu. Lucu abis, pokoknya. Ditambah lagi suaranya lumayan merdu. Wah..tambah seneng deh dengerinnya.
Tapi nyatanya Mamnoor nggak puas hanya sekedar meniru lagunya saja. Mamnoor pun mempraktekkannya dengan minta digendong. Sasarannya siapa saja. Ya Papa, Mama, dan kakaknya. Tapi lebih seringnya mama, sih. Udah gitu, minta dibawa kemana-mana lagi, sambil menyanyikan lagu itu. Terpaksa deh, keliling rumah dan sesekali keluar rumah sambil menggendong Mamnoor. Keselnya, pas lagi asyik nyantai nonton atau baca koran, tiba-tiba dari belakang Mamnoor manjat dan duduk di leher. Mau nggak mau, ya, digendong!
Perpisahan Qilla
Qilla bersama teman-temannya selesai menari Tari Persembahan. Tari ini sudah merupakan tarian wajib di Riau khususnya. Setiap acara, apa saja, tari ini tampaknya tidak pernah ditinggalkan, baik acara skala kecil maupun acara besar. Tarian ini sekaligus bermakna ucapan selamat datang kepada para tamu dalam sebuah perhelatan, dengan memberikan sirih kepada para tamu undangan. Biasanya tamu yang mendapatkan sirih ini, tamu spesial atau para pejabat.
Perpisahan SD Qilla walau dadakan berjalan cukup ramai. Hampir seluruh orangtua murid datang. Semuanya penasaran sekalian ingin mengetahui tentang kelulusan anaknya masing-masing. Alhamdulillah, pengumuman dari Kepala Sekolahnya semuanya berhasil lulus.
Sayangnya, kami tak bisa melihat Qilla nari persembahan. Datangnya terlambat. Padahal penasaran juga, seperti apa Qilla nari yang latihannya dadakan itu. Kata Qilla, sih, oke-oke aja. Nggak ada yang salah. ''Ada sih Ma, salah. Itu karena kasetnya jelek, nggak kedengaran,'' kata Qilla diaminni kawan-kawannya.
Perpisahan kali ini yang punya gawe kelihatannya wali murid. Para gurunya malah duduk manis di tempat yang disediakan. Sedangkan panitia dari wali murid sibuk mengurus segala sesuatunya.
Perpisahan SD Qilla ini sebenarnya terlambat dibandingkan dengan SD-SD lainnya yang lebih dulu mengadakan perpisahan. Saya nggak tahu persis kenapa. Mungkin saja berhubungan dengan imbauan Pemko, kalau sekolah tak boleh membebani wali murid dengan pungutan-pungutan termasuk uang perpisahan. Lha, kalau tak ada dana mana bisa membuat sebuah acara? Karenanya, Selasa kemarin sekolah mengundang rapat seluruh wali murid membicarakan soal perpisahan. biar sekolah terkesan lepas tangan, semuanya diserahkan kepada wali murid. ALhasil, setiap wali murid diminta iuran Rp75 ribu. Saya yang nggak hadir, setuju-setuju saja apa yang diputuskan oleh rapat.
Mama dan Mamnoor di sela-sela acara perpisahan.
Tari Tor-tor ini sebenarnya tari orang Batak. Tapi tarian ini yang biasanya ditampilkan di akhir acara sudah banyak pula ditampilkan di Pekanbaru. Para penari Tor-Tor ini menerima saweran pengunjung yang diberikan sambil menari. Sambil memberikan saweran kepada seluruh penari, pemberi saweran ikutan menari mengikuti irama lagu.
Aqilla dan seluruh teman teman kelas VI menyanyikan lagu Hymne Guru.
Rabu, Juni 24, 2009
Qilla Latihan Nari Dadakan
Hari ini Rabu (24/6), Aqilla mendadak diminta latihan nari untuk perpisahan kelas VI, Kamis, 25 Juni 2009. Terang aja kami pada heran. Apa bisa latihan cuma sehari untuk penampilan perpisahan besok.
Kata Papa: ''Bisa aja, kalau nari cuma begini'', sambil memperagakan gaya tari lenggak kanan lenggok kiri.
Kontan saja aksi Papa menimbulkan tawa kami semua. Sementara Qilla cuma menjawab, entahlah.
Jadinya, sepanjang Rabu Qilla sibuk dari pagi sampai sore.
Sebelum berangkat ke kantor sore hari, Aqilla sudah dapat bocoran kalau seluruh siswa kelas enam lulus semua. Dan Qilla juga sudah tahu kalau prestasinya di urutan keempat. Apapun hasilnya Alhamdulillah....Qilla sudah membuktikan selama ini dia tak pernah tergeser dari lima besar. ''Tapi nilainya baru bisa tahu hari Jumat, Ma,'' tambah Qilla.
Kami masih bingung kemana melanjutkan sekolah Qilla. Awal-awalnya memilih mondok saja, karena banyak nilai plusnya dibanding sekolah umum. Pondok yang sudah kami daftarkan di Dar El Hikmah, tempat Miftah dan Meimun mengabdi. Kenapa di sana yang menjadi pilihan, karena anak Meimun juga sekolah di sana. Sedangkan Raisa, anak teman mama, Yasrib dan Uus, sudah memilih pondok lainnya yang berada di Pekanbaru juga. Kalau nggak salah Pondok Pesantren Al Ihsan. Kata Uus Raisa tertarik di sana karena situasinya pondok banget. Masih banyak hutannya dan ada kolam ikan. Bangunannya pun seperti pondokan. Sekolahnya pun baru dua tahun berdiri.
Kata Papa Qilla, kalau sekolahnya masih baru, yang lain aja dulu. Jadinya, kami tak memilih di tempat Raisa. Walau aku penasaran banget seperti apa Uus menempatkan anaknya di pondok Al Ihsan. Pikirku, pasti ada nilai plusnya kenapa Uus setuju menyekolahkan anaknya di sana. Tapi keinginan itu belum juga terwujud sampai sekarang.
Selain mondok, ada juga keinginan lainnya untuk memasukkan Qilla di SMP pavorit saja. Kalau nilainya memang bagus dan masuk kategori, kenapa tidak dicoba saja. Yah...semua itu masih dipikirkan dulu, aksinya nanti setelah nilainya sudah diketahui.
Selasa, Juni 23, 2009
Selamat Hari Jadi ke-225
Perayaan Hari Jadi di gedung Payung Sekaki juga menuai pujian. Baru-baru ini Pekanbaru kembali meraih Adipura berturut-turut untuk ke limakalinya sebagai Kota Besar Terbersih dan Piala Wahana Tata Nugraha ke enam kali untuk ketertiban lalu lintas. Terhadap prestasi ini, Pemko makin bertekad, akan mempertahankan penghargaan tersebut. Sayangnya, Pekanbaru masih kurang pohon pelindung, Taman Kota, tempat rekreasi, yang menjadi PR Pemko Pekanbaru ke depan. Karena semua itu yang dituntut warga kota saat ini. Tahniah Kotaku, semoga jaya selalu.
Minggu, Juni 21, 2009
Cagar Biosfer
(Inilah kawasan cagar biosfer yang terdiri dari hutan perawan, tasik atau danau dan beberapa aliran sungai. Di dalam cagar ini juga hidup bermacam flora dan fauna yang patut dilestarikan)
Kawasan H2C (Harap-harap Cemas)
TAHNIAH buat Giam Siak Kecil-Bukit Batu sebagai cagar biosfer ke tujuh di Indonesia. Atau, satu dari 553 cagar biosfer yang terdapat di 124 negara yang ditetapkan pada sidang 21st Session of the international Coordinating Council of the Man and the Biosphere Programme (MAB-ICC) UNESCO, di Korea Selatan pada 26 Mei 2009 lalu.
Ucapan selamat ini perlu, sebagai rasa syukur warga Riau dengan penetapan itu. Walau sesungguhnya memang banyak warga yang belum tahu apa itu cagar biosfer, apa fungsinya dan apa pengaruhnya buat masyarakat apalagi terhadap keselamatan bumi. Lalu, mengapa harus di Giam Siak Kecil-Bukit Batu? Apa keistimewaannya?
Jawaban dari pertanyaan di atas tidak dijawad dalam catatan ini, tetapi pembaca bisa mengetahuinya dalam liputan khusus edisi Ahad.
Pertanyaan ini sebenarnya sudah mengemuka dalam diskusi di
ruang rapat Riau Pos, Rabu (17/6) lalu. Ada yang optimis penuh harap, tidak sedikit pula yang pesimis penuh kecemasan. Pesimis di sini bukan berarti tak mendukung. Namun, dilihat dari kenyataan yang ada, pantaskah kawasan Giam Siak Kecil dijadikan cagar biosfer?
Sebagaimana dikatakan Kepala BLH Bengkalis, sesungguhnya hutan di Bukit Batu sudah banyak yang dijarah. Kegiatan illegal logging terus saja terjadi. Itu artinya apa? Artinya lingkungan di sana sudah rusak, tidak lagi menjadi hutan semula jadi. Artinya juga, ekosistem yang ada di sana paling tidak sudah terganggu, sudah diobrak abrik oleh tangan yang tak bertanggung jawab.
Lagi pula, kawasan cagar bioefer Giam Siak Kecil-Bukit Batu cukup luas, meliputi tiga kabupaten. Bengkalis, Siak dan Kota Dumai. Total areanya mencapai 701.984 hektare. Terbagi atas 29 persen di Kabupaten Siak, 67 persen masuk ke dalam Kabupaten Bengkalis dan sekitar 4 persen lainnya masuk ke dalam Kota Dumai. Berdasarkan zonasinya area inti zona penyangga seluas 222.426 hektar (32 persen) dan area transisi seluas 304.123 hektare (43 persen).
Bayangkanlah betapa luasnya Giam Siak Kecil-Bukit Batu tersebut. Bisakah dijamin potensi alam yang sangat bernilai didalamnya tidak diganggu? Jadi, dimananya cagar biosfer itu? Pertanyaan ini muncul karena dalam fikiran kita tentulah yang menjadi cagar biosfer itu masih alam semula jadi. Belum ternoda oleh tangan-tangan penjarah yang hanya menguntungkan diri sendiri.
Jika tidak mau dijarah, sudah seharusnya cagar biosfer terse
but memberikan manfaat bagi warga sekitar. Hal seperti inilah yang menjadi kecemasan dari berbagai pihak, apakah kawasan biosfer tersebut bisa mensejahterakan ekonomi warga tempatan. Soalnya, sangat diperlukan komitmen masyarakat untuk menjaga kawasan tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau hutan dan SDA di bumi Lancang Kuning ini sudah luluhlantak. Sebagaimana dikatakan Budayawan Riau Yusmar Yusuf, eksploitasi berlebihan terhadap alam sudah luar biasa. Bahkan dampaknya bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil. Hutan jadi gurun pasir. Ditambah lagi yang memanfaatkannya adalah SDM yang rendah yang menggunakan SIM putra daerah.
Mudah-mudahan dengan ditetapkan Giam Siak Kecil-Bukit Batu
sebagai cagar biosfer, mampu mengurangi kerusakan alam. Paling tidak, apa yang tinggal bisa dipelihara dan benar-benar berfungsi sebagai penyelamat alam, melestarikan ekosistem bagi dunia, berikut kekayaan keanekaragaman hayati dan budaya di dalamnya,
serta mengantisipasi dampak negatif pemanasan global.
Sebagaimana kata Ketua Komite Nasional Man and the Biosphere Indonesia yang juga Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Endang Sukara, ditetapkan kawasan ini sebagai cagar biosfer harus disambut dengan gembira terutama untuk kepentingan penyelamatan alam dan ummat manusia tidak hanya di Riau akan tetapi juga dunia.
Sebagai warga Riau, tentunya kita sangat gembira. Sebab, dalam kegembiraan itu muncul banyak harapan dan mimpi, walau rasa cemas kerap mengusik kegembiraan tersebut. Untuk itu, Pemerintah wajib menjawab harapan itu dengan mewujudkan cagar biosfer berdaya guna bagi semua ekosistem termasuk manusianya. Dengan begitu, mimpi mewariskan alam Riau untuk Dunia menjadi nyata. Kalau sudah begini, apa kata dunia? Sekali lagi, tahniah.
nurizahjohan@riaupos.com
nurizahjohan@ymail.com
NB: Tulisan ini merupakan catatan akhir pekan yang terbit edisi Ahad, 21 Juni 2009 dalam koran Liputan Khusus yang membahas cagar biosfer ini dari segala sudut pandang.
Jumat, Juni 19, 2009
Naik Trans Metro Gratis
Warga Kota Pekanbaru dalam tiga hari ini dimanjakan oleh Bus Trans Metro Pekanbaru. Kemanapun tujuan mereka selama itu menjadi rutenya Trans Metro, tidak dipungut biaya alias gratis. Kebiajakan itu sengaja diambil Pemko karena ingin mengenalkan keberadaan Trans Metro yang mulai beroperasi di kota ini. Selain taarruf, gratisan ini juga dala rangka HUT Kota Pekanbaru yang ke 225, 23 Juni 2009.
Terang saja, kebijakan ini disambut hangat oleh warga kota. Buktinya, dalam dua hari ini warga berebutan naik bus Trans Metro ini. Termasuk para pelajar. Mungkin saja warga kota naik Trans Metro karena ingin mencoba saja. Soalnya Pak Wali Kota promosinya gencar banget. Katanya, Trans Metro cukup nyaman. Makanya dia mengajak warga untuk memanfaatkannya.
Tapi apapun itu, kehadiran Trans Metro pastinya sangat dinanti warga kota. Apalagi rutenya termasuk rute baru yang tidak dilewati angkutan umum sebelumnya.
Warga berdesakan naik Trans Metro. Mumpung gratis.
Senin, Juni 15, 2009
Wisata Religi di Kubah Emas
Emakku, Mak Cikku, Makwoku yang begitu ingin mengabadikan kedatangan mereka di Kubah Emas Depok ini.
Pesona Masjid Kubah Emas yang terletak di daerah Depok, Jawa Barat, menjadi pembicaraan yang mengasyikkan bagi keluarga besarku yang kebetulan datang ke Jakarta awal Juni 2009 lalu. Rasanya nggak afdol kalau sudah ke Jakarta tak menempuh si Kubah Emas, sebuah wisata religi yang melahirkan rasa aman dan damai setelah menunaikan salat sunat dan Salat Zuhur di sana. Salah satu buktinya, salah seorang keluargaku yang biasa ku panggil Maktuo atau Tukmak, langsung mempunyai hajat ingin menunaikan ibadah umrah. Keinginan itu tiba-tiba saja muncul dari hatinya setelah mengunjungi kubah emas.
Salah satu pemandangan di dalam masjid sebuah langit-langit masjid yang dipenuhi awan. Kalau dilihat dari luar, inilah yang namanya kubah emas, sebuah kubah yang dilapisi warna kuning emas.
Makwoku, Emakku, dan Makcikku, khusuk salat sunat ba'da salat zuhur.
Di komplek kubah emas, disediakan ruangan yang cukup luas beralaskan keramik. Di sinilah para pengunjung melepaskan lelah, dengan tiduran, santai-santai dan menikmati bekal makanan mereka. Suasana cukup adem walau di luar matahari sangat menyengat.
Tak mau ketinggalan berfoto ria di salah satu sudut kubah emas.
Inilah seluruh keluargaku yang terdiri dari Makwo, makci, dan pak cik. Kehadiran mereka di Jakarta selain jalan-jalan utamanya menghadiri resepsi pernikahan salah seorang anak saudara.
Kamis, Juni 11, 2009
Malam Resepsi
Walau bundaku dan beberapa saudara ibuku ikut menghadirinya. Karena diajak RAPP meliput Pameran Lingkungan Indonesia 2009 pada waktu
yang bertepatan dengan nikahnya adik saudara ibuku itu,
aku hanya bisa bersyukur pada Allah atas nikmat NYA itu.
Kedua mempelai yang diarak menuju singgasananya di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan.
Para penari yang menyambut kedatangan kedua mempelai menuju pelaminan.
Jumat, Juni 05, 2009
Hari Kedua PLI
Hari kedua berlangsungnya Pekan Lingkungan Indonesia 2009 di Jakarta Conventions Centre (JCC) Jakarta, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar melakukan kunjungan ke seluruh stand peserta pameran., termasuk stand Pemerintah Provinsi Riau, Jum’at (29/5). Pada kesempatan tersebut, Rachmad Witoelar menyambangi stand PT.Riau Andala Pulp And Paper (PT.RAPP) yang berada di sisi kiri pintu masuk. Rombongan Meneg LH Rachmat Witoelar diterima langsung Corporate Affair Director PT.RAPP Ketut P.Wirabudi didamping Manajer Hubungan Media, Nandik Sufaryono, External Manager Edwar Wahab dan Kepala BLH Propinsi Riau Fadrizal Labay.
Sebenarnya acara hari kedua tak ada kecuali meninjau pameran. Tapi karena Pak Mentri datangnya siang ke pameran, terpaksa kami menunggu sambil melihat-lihat ratusan stan lainnya dari berbagai instansi dan provinsi se Indonesia. Dari pada bengong, kami nongkrong di cafe yang ada di JCC. Kebetulan ada artis Nugi, yang juga nongkrong, kami abadikan pertemuan tersebut.
Salah satu rasa syukurku kepada Allah atas keberangkatanku ke Jakarta adalah dapat
menghadiri akad nikah anak pak Cik, bernama Wulan. Untung nikahnya pagi Jumat, sehingga sebelum berangkat ke arena pameran sekitar jam sepuluhan, saya bisa menyaksikan akad
nikahnya. Resepsinya digelar Malam Minggu di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta.