skip to main |
skip to sidebar
Mbah dari Bantul
Demi Upah Rp7.000, Rela Berjalan Dua KM
Wajah si Mbok keriput dan legam. Giginya tak utuh lagi. Di �
kakinya terdapat bekas luka yang kelihatannya seperti gigitan hewan liar. ''Ya, iki la, digigit anjing to, Ndhuk,''ujar nenek 60 tahun lebih ini.
Nenek ini berasal dari Bantul, Jogjakarta. Mereka mencoba mengubah nasib di Pekanbaru. Pekanbaru sebagai kota yang berkembang cukup pesat, menjadikan kota ini sebagai tempat mencari hidup. Begitu juga si mbah Lagiyem ini, mencoba mengubahnasib di Pekanbaru. Usia senja tak membuat semangatnya redup mengisi hidup.
Mbah Lagiyem benar-benar mencari rezeki halal. Dia tak mau mengemis. Ia rela berjalan dua kilometer demi mengejar upah cuci Rp7.000 sehari.
Saat berjalan, ia terlihat sedikit bungkuk dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Untuk orang seusianya, 60 tahun, si Mbah termasuk kuat dan masih bisa berjuang untuk hidup dengan tidak berharap dari belas kasihan semata.
Mbah Lagiyem tinggal bersama cucunya Ali (20) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas. Juga ada Sugiyem, kakak satu-satunya yang sangat ia kasihi. Mbakyu, panggilan akrabnya untuk sang kakak, lebih tua 15 tahun darinya.
Selain sebagai buruh cuci, si Mbah juga menyetrika dan pekerjaan rumah lainnya, hanya untuk mendapat upah Rp7.000 sehari. ''Itu pun kalau mereka ngak nunggak,'' jelasnya. Jika pemakai jasanya menunggak, maka sangat boleh jadi si Mbok, si Mbah dan cucunya Ali tidak akan makan satu hari itu.
Banyak juga yang kasihan dengan si �
mbah dengan memberikan uang tanpa menggunakan jasanya. Tetapi dia menolak dengan halus. Sebab ia tak ingin diberi uang tanpa berbuat apa-apa untuk orang tersebut. ''Biar miskin dan buta huruf, Mbok gak akan mengemis,'' ujarnya bersahaja.
Keberadaan mereka sudah 21 tahun lalu. Kala itu, Pekanbaru masih sebuah kota yang tenang dan masih banyak hutannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
selamat berkomentar