Minggu, April 05, 2009

Resensi Buku


Sinopsis Novel PUTRI MELAYU
Jelita Perang dan Cinta



Kemegahan perayaan ulang tahun ke-16 Tengku Farida, puteri tunggal Pangeran Setiakala
dan Tengku Nadia, laksana penutup era kedamaian dan kesejahteraan kaum bangsawan di Sumatera Timur. Kelompok radikal kiri mengobarkan ‘revolusi sosial’ berdarah, dengan teror,
pemerkosaan dan pemancungan--suatu coup terhadap hukum dan pemerintah yang sah.

Hati dan jiwa remaja gadis itu terpaut dan bersambut dengan Tengku Farid, perwira
Tentara Keamanan Rakyat. Farid tergoncang karena gagal melindungi nasib keluarga dan kaumnya dari angkara kaum kiri. Di tengah tekanan batin berat karena buntu meminta perhatian pemerintah pusat untuk melindungi keluarga korban keganasan kelompok kiri, Farid ke Jakarta bergabung dengan Komisi Pencari Fakta menyangkut kecamuk ‘revolusi sosial’ yang sudah banyak memakan korban. Terjebak dalam birokrasi di Jakarta, Farid menemukan dukungan moral dan tumpuan semangat pada Raden Ajeng Sriningsih dan Romonya.

Kembali berjuang di Siantar, pasukan Farid berhasil memperlambat kemajuan tentara Belanda pada agresi I. Tragis, dia gugur sia-sia disergap pasukan radikal kiri, yang selalu merampas senjata untuk menjadi kelompok dominan.Farida, sebagai tawanan, nyaris kehilangan kehormatannya diperkosa oleh komandan kiri.

Dua peluru melesat sipi di kepala Letnan Umar yang memergoki upaya mesum itu. Menjelang agresi-1 Belanda, kota minyak Pangkalan Berandan di bumi hangus. Farida, sebagai tawanan-perawat, menghadapi maut karena demam malaria dan kobaran api yang menyeberang ke asramanya. Kolok mengungsikannya ke keluarga yang tidak dikenalnya, di suatu kampung. Di sana Farida hidup dalam lingkungan jelata. Dia berhasil beradaptasi. Seorang pemuda, Sanusi, diam-diam mencintainya.

Umar bertugas menjadi komandan menghadang kemajuan pasukan Belanda, pada agresi-1, di seberang sungai Stabat. Nyawanya hampir direnggut oleh hempasan dan kepingan peluru meriam Belanda. Invalid, dia bergabung dengan Mayor Johan, komandan ‘kapal siluman’, yang
menyelundupkan senjata dari Semenanjung Melayu untuk pasukan Republik di Aceh.

Menjelang Belanda harus meninggalkan Indonesia, Farida kembali ke Tanjung Pura. Yang ditemuinya adalah puing-puing rumahnya dan puing-puing harapan. Farida memusatkan upaya memperoleh informasi akurat tentang nasib ayahnya, Farid dan lainnya. Nasib mempertemukannya kembali dengan Umar yang menjadi ketua markas legiun veteran yang baru dibentuk di Binjai. Tertempa dan ditempa oleh pahit-getirnya pengalaman dan perjuangan menuju alam merdeka yang dibayar dengan segenap pengorbanan, mereka menatap masa depan dalam kedewasaan.

Di bandara Kemayoran, Farida terkesima mengamati anak perempuan sekitar lima tahun. Raut muka dan sorot matanya laksana cerminan Farid. ‘Ke Medan, bersama bunda, mencari romo…,’ ujarnya menjawab pertanyaan Farida.
‘Siapa namamu, gadis manis?’
‘Farida,’ jawab si cilik dengan senyum menawan. Dia melangkah berlalu ‘…bersama bunda,’
gumamnya, sambil tersenyum memandang Farida, lalu berbelok ke ruang tunggu.

Di Hotel Transaera, Gambir, Jakarta, Farida kembali berujar pada suaminya, Umar, tentang Farida kecil yang mencari Romonya di Medan bersama bundanya, wanita ayu berkebaya pendek. Mata gadis cilik itu adalah cermin dari Farid.

Gemertap roda besi kereta api menggilas baja rel menjauh dari stasiun Gambir. Lengking lokmotifnya makin sayup. Kuda baja itu akan selalu datang dan pergi, laksana kenangan yang
menderu, senyap, menjauh, mendekat berulang kali.***

Judul Buku: Putri Melayu, Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian.
Pengarang: Amiruddin
Tebal: 428 Halaman
Penerbit: Bentang Jogyakarta
Harga    : Rp49.000






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

selamat berkomentar