Rabu, April 01, 2009

Tamu Kantor

Riau Pos memang dijadikan salah satu tempat wisata oleh para tamu, baik regional, nasional maupun internasional. Siapa pun yang datang ke Riau, khususnya Pekanbaru, pasti menyempatkan diri mengunjungi redaksi Riau Pos. Biasanya yang datang itu terdiri dari pejabat, politikus, ilmuan, atau kunjungan wisatawan luar negeri yang sedang melancong ke Pekanbaru.
Kebetulan, tamu Riau Pos yang datang Selasa, 31 Maret 2009 calon Presiden dari Partai Bulan Bintang yang juga mantan Mentri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra. Kedatangan Yusril didampingi para pengurus wilayah PBB Riau untuk menjelaskan beberapa hal. Tetunya sangat erat dengan kampanye yang sedang berlangsung saat ini.
Mantan Menteri Kehakiman RI ini, menegaskan, tuduhan korupsi terhadap dirinya soal proyek sidik jari di Depkeh yang dipimpinnya dulu tak terbukti. ''Hasil audit BPK terhadap saya tak terbukti saya korupsi. Kasihannya staf-staf saya sudah dibikin tersangka,'' ujarnya.


Sistem sidik jari dulu menurutnya sangat bagus karena identitas seseorang akurat. Rencananya mulai dari lahir anak-anak sudah diambil sidik jarinya. Konsep yang lalu itu Depkeh mengambil dokumen sidik jari dari paspor dan Surat Izin Mengemudi (SIM) masyarakat bekerja sama dengan polisi.

Kemudian mesin sidik jari itu memang tidak harus ditenderkan karena tak dijual bebas. Tapi harus dipesan khusus ke negara luar seperti Jerman atau Rusia yang cuma ada tiga produk yakni Darmalock, motorola, dan Rusia.
Yusril tokoh Masyumi ini mengajak masyarakat Riau mendukung perjuangan PBB menekan pajak agar lebih rendah dan tak memberatkan masyarakat. ''Kita kerja setengah mati, dipajak 40 persen. Lama-lama bisa mati usaha kita. Saya punya kantor dipajak Rp1juta per hari. Kalau pajak tinggi, orang lebih suka investasi ke luar negeri seperti Dubai,'' ujarnya.
PBB juga berjuang agar usaha pertambangan mendapat bantuan kredit perbankan terutama pengusaha pribumi, karena selama ini belum ada perbankan membantu kredit pertambangan. Akhirnya pengusaha tambang asing saja yang menguasai usaha pertambangan nasional. Sementara anak jati Indonesia tak mendapat kesempatan dalam usaha pertambangan. Di Eropa pajak tinggi tapi ada kompensasinya bagi warga negaranya, misalnya nonton gratis bagi warga negara yang tua.
''Datuk Maringgih saja tak mau bayar pajak blasting zaman Belanda dulu karena Indonesia ini tanah air nenek moyangnya, pajak mencekik rakyat sendiri,'' tambah Yusril. PBB berjuang untuk Riau di tingkat pusat agar mengamandemen UU No 32/2003 tentang dana bagi hasil (DBH) mencapai titik rasional, pendidikan untuk semua anak tak mampu diberi bantuan, ada Puskesman setiap desa, infrastruktur lebih mendesak dibanding membangun kantor Gubernur atau kantor Bupati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

selamat berkomentar